Sabtu, 16 November 2013
Jumat, 15 November 2013
BAHASA HELONG DI DESA OEMATNUNU, KECAMATAN KUPANG BARAT MENGALAMI PERGESERAN MENUJU KEPUNAHAN
Gregorius
Sudaryono
Dosen Bahasa dan Sastra Inggris
Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STIBA) Cakrawala Nusantara Kupang
Jl. Bunga Jati No. 88 Oesapa-Kelapa Lima Kupang
ABSTRACT
Research
on language maintenance related to social factors included in sociolinguistic
research. This research aims to describe the language situation in related to Helong
language in the context of bilingualism in Helong community living in Oematnunu
village, West Kupang Sub-district, Kupang regency.
This
research study refers to the variable of bilingualism and social factors.
Bilingualism variables consisted of variables bilingualism patterns, language
attitudes, and the domain of language usage. The social factor variables
consist of ages, sexes, education, occupation, population mobility, and
homogeneous and heterogeneous residential areas.
Methods
and data collection techniques used in this research include: methods of
observation or surveys, questionnaires, interviews, focus groups, records, and
documentation, and refer-notes technique. To obtain the expected data,
respondents are enmeshed in this study of 100 respondents Helong tribe who live
in the Oematnunu village and categorized into three groups, namely groups of
children, adults, and parents.
Data
obtained through these data collection techniques were analyzed using
descriptive qualitative-analytic inductive method, in the sense of moving from
data analysis to the concept or theory. The results of data analysis presented
in the form of descriptions using the words are arranged in a systematic and
structured and the tables containing the numbers and percentages according to
the scope of the problem and research purposes.
The
findings of this research indicate that attitudes, behaviors, and views of
language that is not accommodating of the parent group to the next generation
resulting in language Helong increasingly displaced by the B2. The use of B2 is
increasingly intervening in every domain of language usage negatively affect
Helong language shift.
Key words: sosiolinguistik, kedwibahasaan, pergeseran bahasa.kepunahan bahasa
I. PENDAHULUAN
Keberadaan
bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena
dengan bahasa manusia dapat berinteraksi sosial. Namun dalam perkembangannya,
keberadaan bahasa sering terusik oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
serta arus globalisasi. Di sinilah faktor penutur bahasa menentukan keberadaan
suatu bahasa di tengah-tengah kehidupan mereka.
Hal
ini berkaitan dengan keberadaan bahasa Helong sangat bergantung kepada penutur
aslinya untuk menentukan keberadaan bahasa itu di tengah arus globalisasi di
segala bidang. Bahasa Helong
adalah bahasa pertama (B1) yang digunakan suku Helong yang bermukim di wilayah
ujung barat pulau Timor dekat pelabuhan Tenau, Kota Kupang hingga wilayah Amarasi, dan sebagian besar
desa di pulau Semau. Bahasa Helong termasuk salah satu rumpun bahasa
Austronesia di Indonesia Timur, khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Bahasa Helong terdiri atas tiga dialek, yakni dialek Helong Pulau,
Helong Darat, dan Helong Funai. Komunitas penutur dialek Helong Darat dan
Helong Funai bermukim di pulau Timor, sedangkan komunitas Helong Pulau bermukim di pulau Semau
(Grimes, 1997: 42).
Mengingat bahasa Helong hidup berdampingan dengan bahasa multisuku yang
mempetahankan identitas kesukuannya masing-masing, maka fenomena
pergeseran bahasa (language
shift) dan kepunahan bahasa (language
death) dapat saja terjadi. Hal yang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa
adalah
jika masyarakat pemakai memilih
bahasa baru untuk mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata lain, pergeseran
bahasa terjadi karena masyarakat bahasa beralih ke bahasa lain
yang dominan dan berprestise, yang digunakan dalam ranah-ranah pemakaian bahasa yang lama.
Dalam konsep pergeseran bahasa, bahasa mengalami pergeseran jika pemakaian antara B1 dan
B2 tidak seimbang. Ketika keseimbangan ini tidak ada lagi, maka
dua kemungkinan yang akan muncul,
yaitu B1 tetap bertahan
atau B1 tersingkir oleh
B2 yang mengarah pada kepunahan.
Menurut Edwards (1985:71-72),
salah satu fenomena yang memicu
terjadinya pergeseran bahasa
disebabkan oleh berkurangnya
jumlah penutur usia muda dari bahasa tersebut, karena mereka cenderung menggunakan bahasa lain
yang dianggapnya lebih berprestise, seperti bahasa
Indonesia dan bahasa Inggris.
Sebagaimana
disinggung di atas, bahasa Helong merupakan salah satu bahasa daerah di kabupaten Kupang sebagai bahasa yang hidup
berdampingan dengan BI dan bahasa-bahasa daerah yang lain, tentunya bahasa ini
bisa mengalami pergeseran penggunaan oleh penuturnya. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, termasuk faktor perkawinan campur, teknologi komunikasi, dan
arus perpindahan penduduk. Jika hal itu terjadi, maka tidak tertutup
kemungkinan bahwa bahasa Helong
mengalami pergeseran menuju kepunahan.
Berdasarkan
gambaran pada latar belakang di atas, maka batasan masalah yang
dikaji dalam penelitian
ini adalah: Bagaimanakah situasi kebahasaan masyarakat Helong
dalam konteks kedwibahasaan.
II. KONSEP
DAN TEORI
2.1 Pergeseran
Bahasa
Dalam era
globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan di bidang transportasi dan
komunikasi meningkat sangat pesat, sehingga arus globalisasi terasa bertambah
kuat dan dunia terasa makin datar (Friedman, 2005:24). Akibat derasnya arus
globalisasi batas negara menjadi kabur dan akhirnya hilang. Tekanan arus
globalisasi yang melanda bangsa-bangsa yang sedang berkembang menimbulkan
perubahan yang semakin cepat dan luas dalam berbagai wilayah kehidupan.
Globalisasi akan meningkatkan pemahaman antarbahasa guna menjalin persahabatan
antarnegara dalam konteks ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Globalisasi
memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian besar orang
menafsirkan sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana
layaknya sebuah desa kecil, setiap orang bisa berkomunikasi dengan sangat
mudah, berhubungan dengan waktu yang singkat, dan dengan biaya yang relatif
rendah. Globalisasi adalah akibat dari revolusi teknologi, komunikasi, dan
informasi yang dapat berimbas pada tatanan masyarakat, bangsa, dan negara di
berbagai belahan dunia. Setiap bangsa di dunia tidak dapat melepaskan diri dari
arus global akibat revolusi tersebut. Dengan kondisi seperti itu, persaingan
antar wilayah pun semakin tinggi. Siapa yang menguasai komunikasi dialah yang
akan menguasai dunia. Bahasa merupakan alat komunikasi di dunia. Oleh karena
itu, eksistensinya di tengah arus global harus dicermati.
Arus global
berimbas pula pada penggunaan dan keberadaan bahasa daerah di masyarakat. Penggunaan bahasa di dunia maya, internet,
facebook, misalnya, memberi
banyak perubahan bagi struktur yang oleh beberapa pihak
disinyalir merusak bahasa itu sendiri. Berlandaskan alasan globalisasi dan
prestise, masyarakat mulai kehilangan rasa bangga menggunakan bahasa
daerah. Tidak hanya pada rakyat
kecil, ‘krisis bahasa’ juga ditemukan pada para pejabat negara. Kurang intelek
katanya kalau dalam setiap ucapan tidak dibumbui selingan bahasa asing yang
sebenarnya tidak perlu. Hal tersebut memunculkan istilah baru, yaitu
‘Indoglish’ kependekan dari ‘Indonesian-English’ untuk fenomena bahasa yang kian
menghantam bahasa Indonesia.
Sulit
dipungkiri memang, bahasa asing kini telah menjamur peng-gunaannya. Mulai dari
judul film, judul buku, judul lagu, sampai pemberian nama merk produk dalam
negeri. Kita pun merasa lebih bangga jika lancar dalam berbicara bahasa asing.
Namun, apapun alasannya, entah itu menjaga prestise, mengikuti perkembangan
zaman, ataupun untuk meraup keuntungan, tanpa kita sadari secara perlahan kita
telah ikut andil dalam mengikis keberadaan bahasa daerah kita sendiri.
Fakta menunjukkan bahwa, sekarang ini penggunaan penggunaan bentuk ‘Inggris’ sudah
banyak menggejala. Dalam bidang internet dan komputer, kita banyak menggunakan kata mendownload, mengupload,
mengupdate, dienter, direlease, didiscount, dan lain sebagainya. Tidak
hanya dalam bidang komputer, di bidang lain pun sering kita jumpa
bahwa, selain bahasa asing, kedudukan bahasa daerah juga semakin terdesak dengan pemakain bahasa-bahasa gaul
di kalangan remaja. Bahasa gaul tersebut sering kita temukan dalam pesan singkat atau sms, seperti
chaBHing dan sejenisnya. Misalnya, dalam kalimat ’gue gitu loh
pa sich yg ga bs’ kata ganti ‘aku’ tidak dipakai lagi, tetapi sudah diganti dengan gue.
Fenomena di atas
dapat mengakibatkan pergeseran bahasa daerah. Fenomena pergeseran bahasa sebenarnya telah ada sejak
bahasa-bahasa itu mulai mengadakan kontak dengan bahasa lainnya (Grosjean
1982). Kontak antardua suku yang masing-masing membawa bahasanya
sendiri-sendiri lambat laun mengakibtakan terjadinya persaingan kebahasaan.
Pada umumnya, dalam persaingan kebahasaan terjadi fenomena-fenomena kebahasaan
yang diawali dengan kedwibahsaan, diglosia, alih kode/campur kode,
interferensi, dan akhirnya permertahanan dan pergeseran bahasa. Jika satu
bahasa lebih dominan, lebih berprestise, atau lebih modern atau bahkan mungkin
lebih “superior” daripada bahasa lain, bahasa tersebut dipastikan dapat
bertahan, sedangkan lainnya dalam beberapa generasi akan ditinggalkan oleh
penuturnya. Tidak jarang bahasa yang ditelantarkan oleh penuturnya itu lambat laun
mengakibatkan kematian bahasa (Dorian 1978: 647).
Dalam kepustakaan
sosiolinguistik, pergeseran bahasa merupakan fenomena yang menarik
untuk dibahas. Terminologi
pergeseran bahasa pertama kali diperkenalkan oleh Fishman pada tahun 1964 yang
selanjutnya dikembangkan oleh Susan (1979: 107) yang meneliti masalah pilihan
dan pergeseran bahasa di Oberwart, Austria timur, yang mengkaji pergeseran
bahasa Gaelik oleh bahasa Inggris di Sutherland Timur, Britania bagian utara.
Pergeseran bahasa erat kaitannya dengan ranah yang berkaitan dengan pilihan
bahasa dan kewibahasaan. Kajian ketahanan dan pergeseran bahasa perlu dikaitkan
dengan konsep pemilihan bahasa. Pemahaman pilihan bahasa dalam ranah yang
dihubungkan dengan konsep diglosia di atas sangat penting, artinya karena dengan kebocoran diglosia yang
menyebabkan bahasa bergeser dapat dilihat.
2.2 Kepunahan Bahasa
Kepunahan suatu bahasa bertitik-tolak dari kontak dua bahasa atau
lebih dalam suatu masyarakat. Gejala
kepunahan bahasa akan tampak dalam proses yang cukup panjang. Mula-mula
tiap-tiap bahasa masih dapat digunakan oleh penutur aslinya
dalam berbagai ranah. Kemudian pada
suatu masa transisi, masyarakat tersebut menjadi dwibahasawan sebagai suatu tahapan sebelum
kepunahan bahasa aslinya dan dalam jangka waktu beberapa generasi mereka
bertrasformasi menjadi masyarakat ekabahasawan kembali. Dengan demikian,
pergeseran bahasa mencakup pertama-pertama kedwibahasaan (seringkali bersama
diglosia) sebagai suatu tahapan menuju keekabahasaan.
Hasil-hasil penelitian yang telah
dilakukan di berbagai tempat menunjukkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan pergeseran dan kepunahan
suatu bahasa, seperti loyalitas bahasa, konsentrasi wilayah pemukiman penutur, pemakaian bahasa
pada ranah tradisional sehari-hari, kesinambungan peralihan B1 antargenerasi,
pola-pola kedwibahasaan, mobilitas sosial, sikap bahasa dan lain-lain. Menurut
Romaine (1996),
faktor-faktor itu juga dapat berupa kekuatan kelompok mayoritas terhadap
kelompok minoritas, kelas sosial, latar belakang agama dan pendidikan, hubungan
dengan tanah leluhur atau asal, tingkat kemiripan antara bahasa mayoritas
dengan bahasa minoritas, sikap kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas,
perkawinan campur, kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa dan pendidikan
kelompok minoritas, di samping pengaruh pola pemakaian bahasa.
Sesungguhnya, terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan
terjadinya pergeseran bahasa di masyarakat. Namun, faktor-faktor itu bervariasi
antara
satu wilayah dengan wilayah lain. Grosjean (1982: 107)
mengelompokkan faktor-faktor tersebut ke dalam lima faktor, yaitu: sosial, sikap, pemakaian, bahasa, kebijakan pemerintah,
dan faktor-faktor lain.
III. METODE PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang
permasalahannya, penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian
deskriptif-kualitatif dengan menggunakan kerangka fenomenologis sebagai
landasan filosofisnya. Sesuai landasan filosofis yang menafasirnya, penelitian
ini beraras pada data faktual dan data tersebut dikaji dan disajikan
sebagaimana dan apa adanya sesuai realitas yang ditemukan pada saat penelitian
ini dilakukan. Bersamaan dengan itu, salah satu alasan penelitian ini berupaya
menjawab permasalahan berdasarkan situasi kebahasaan masyarakat Helong dalam
konteks kedwibahasaan.
Dalam rangka menjawab masalah yang
ditelaah dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode pengamatan, metode kuesioner, metode wawancara,
metode diskusi kelompok terarah, rekam, dan metode dokumentasi.
IV. BAHASAN
Pembahasan yang disampaikan menyangkut persoalaan tentang situasi
kebahasaan masyarakat Helong dalam konteks kedwibahasaan merupakan gejala yang dapat menumbuhkan persaingian
antarbahasa sehingga memungkinkan bahasa-bahasa tertentu mengalami
pergeseran dalam persaingan
yang mengakibatkan terjadinya kepunahan bahasa. Bagi peneliti sosiolinguistik,
keanekaragaman bahasa yang berkaitan dengan pergeseran dan kepunahan bahasa merupakan masalah yang menarik
untuk dibicarakan, selanjutnya (Sumarsono, 1955:173) membahas pergeseran
bahasa erat kaitannya dengan
kepunahan bahasa, artinya tidak ada lagi loyalitas yang
tinggi dari masyarakat tutur terhadap bahasanya.
Pembahasan tentang situasi kebahasaan
masyarakat Helong dalam konteks kedwibahasaan didasarkan atas ranah-ranah penggunaan bahasa seperti
ranah keluarga, ranah pendidikan, ranah adat, ketetanggaan, dan
ranah agama menunjukkan adanya pergeseran bahasa Helong menuju kepunahan.
4.1.1 Penggunaan Bahasa Helong dalam Ranah
Keluarga
Berdasarkan
data yang diperoleh dari responden tentang pilihan bahasa yang digunakan dalam
ranah rumah tangga mengacu pada keseringan kelompok dewasa dan anak menggunakan
bahasa Helong pada ranah keluarga, khususnya dengan anggota keluarga yang lebih
tua. Untuk mengetahui tingkat keseringan berbahasa
Helong bagi kelompok itu, diperoleh data sebagai berkut.
a.
Kelompok dewasa
Tabel 4.1 Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga antarapenutur kelompok dewasa
dengan kakek nenek,
bapak-ibu, saudara kandung, dan penghuni lain se rumah (N=29)
Bahasa
|
Kakek-nenek
|
Bapak-ibu
|
Saudara
kandung
|
Penghuni
lain
|
||||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong
|
18
|
62,07
|
9
|
31,03
|
2
|
6,90
|
6
|
20,69
|
Bahasa Indonesia
|
4
|
13,79
|
16
|
55,17
|
22
|
75,86
|
17
|
58,62
|
BH dan BI
|
7
|
24,14
|
4
|
13,79
|
5
|
17,24
|
6
|
20,69
|
Jumlah
|
29
|
100
|
29
|
100
|
29
|
100
|
29
|
100
|
Data
pada tabel 4.1 menunjukkan adanya penggunaan bahasa Helong bagi dewasa pada
ranah keluarga ketika berkomunikasi dengan kakek-nenek (62,07%), bapak-ibu
(31,03%), saudara kandung (6,90%), dan penghuni lain (20,69%). Sedangkan
frekuensi keseringan penggunaan bahasa campur (bahasa Helong dan bahasa
Indonesia) dalam ranah itu juga dapat dilihat pada tabel, yakni dengan
kakek-nenek (24,14%), bapak-ibu (13,79%), saudara kandung (17,24%), dan
penghuni lain (20,69%).
Pilihan
bahasa yang melibatkan bahasa Helong sebagai bahasa komunikasi dalam ranah
keluarga menunjukkan adanya kemampuan dewasa Helong menggunakan bahasa Helong
yang tingkat kemampuannya sulit diukur oleh penuturnya. Terlepas dari persoalan
yang mengacu pada pengakuan atau jawaban atas pertanyaan di atas, sebagian penutur
muda Helong memperlihatkan bahasa Helong mengalami pergeseran.
b.
Kelompok anak
Tabel 4.2 Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga antara penutur kelompok Anak dengan kakek-nenek, bapak-ibu, saudara kandung, dan
penghuni lain se rumah (N=31)
Bahasa
|
Kakek-nenek
|
Bapak-ibu
|
Saudara kandung
|
Penghuni lain
|
||||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong (BH)
|
4
|
12,90
|
2
|
6,45
|
0
|
0
|
1
|
3,23
|
Bahasa Indonesia (BI)
|
21
|
67,74
|
19
|
61,29
|
31
|
100
|
28
|
90,32
|
BH dan BI
|
6
|
19,35
|
10
|
32,26
|
0
|
0
|
2
|
6,45
|
Jumlah
|
31
|
100
|
31
|
100
|
31
|
100
|
31
|
100
|
Data
pada tabel 4.2 menunjukkan adanya penurunan jumlah penutur Helong pada kelompok
anak jika dibandingkan dengan kelompok dewasa, yang secara keseluruhan
memperlihatkan persentase pada tabel berikut.
Tabel 4.3 Keadaan penggunaan bahasa dalam ranah
keluarga
bagi penutur
kelompok dewasa dan anak
Anggota
keluarga
|
Penggunaan
Bahasa Helong
|
Selisih
|
||||
Dewasa
|
Anak-anak
|
|||||
|
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
Kakek-nenek
|
18
|
62,07
|
4
|
12,90
|
14
|
49,17
|
Bapak-ibu
|
9
|
31,03
|
2
|
6,45
|
7
|
24,58
|
Saudara
kandung
|
2
|
6,90
|
0
|
0
|
2
|
6,90
|
Penghuni
lain
|
6
|
20,69
|
1
|
3,23
|
5
|
17,46
|
Data pada tabel 4.3 menunjukkan penurunan jumlah
penutur dan persentase dalam penggunaan bahasa Helong pada generasi berikutnya,
dengan kakek nenek; 49,17 %, dengan bapak-ibu; 24,58 %, dengan saudara kandung;
6,90 %, dan dengan penghuni lain; 17,46 %. Penurunan jumlah penutur Helong
generasi berikutnya pada tabel 4.3 terjadi pada semua lawan bicara dalam ranah
keluarga. Berdasarkan analisis data di atas, penggunaan bahasa Helong pada
ranah keluarga terlihat responden kelompok dewasa masih menggunakan bahasa
Helong dengan semua lawan bicara di dalam keluarga, masing-masing; 62,07%,
31,03%, 6,90%, dan 20,69%, begitu juga halnya dengan responden kelompok anak,
masing-masing; 12,90%, 6,45%, 0%, dan 3,23%.
Kondisi kebahasaan sebagai akibat pengalihan bahasa
dari generasi ke generasi berikutnya seperti yang nampak pada tabel itu
menunjukkan bahwa dalam ranah keluarga bahasa Helong sedang mengalami
pergeseran. Artinya, bahasa Helong masih digunakan oleh penuturnya, yang jika
terjadi penurunan terus-menerus dari generasi ke generasi, tidak menutup
kemungkinan bahasa Helong punah. Berbicara tentang pergeseran bahasa, faktor
kedwibahasaan bukanlah satu-satunya faktor penyebab terjadinya pergeseran
bahasa Chaer (2004:142). Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan beberapa faktor
penyebab terjadinya pergeseran bahasa yang disebabkan, antara lain, pengaruh
faktor perpindahan penduduk, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan. Dari ketiga
faktor itu, yang berhubungan dengan fenomena kebahasaan bahasa Helong yang
mengarah ini adalah faktor pendidikan.
4.1.2 Penggunaan Bahasa Helong dalam Ranah
Pendidikan
Penggunaan
bahasa dalam ranah pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.4, disajikan
berdasarkan jawaban responden tentang penggunaan bahasa di lingkungan sekolah.
a.
Kelompok
dewasa dan anak
Tabel 4.4 Penggunaan bahasa dalam ranah pendidikan antara anak dengan teman sekelas,
guru, dan pegawai di sekolah (N=29+31=
60)
Bahasa
|
Teman se kelas
|
Guru
|
Pegawai/pesuruh
|
|||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Bahasa Indonesia
|
49
|
81,67
|
60
|
100
|
60
|
100
|
BH dan BI
|
11
|
18,33
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Jumlah
|
60
|
100
|
60
|
100
|
60
|
100
|
Data
pada tabel 4.4 menggambarkan bahwa dalam ranah pendidikan, responden memilih
bahasa Helong untuk berbicara dengan lawan bicara; teman se kelas (0%), guru
(0%), dan pegawai/pesuruh (0%); bahasa Indonesia untuk berbicara dengan lawan
bicara; teman se kelas (81,67%), guru (100%), dan pegawai/pesuruh (100%);
bahasa Helong dan bahasa Indonesia untuk berbicara dengan teman se kelas
(18,33%), guru (0%), dan pegawai/pesuruh (0%). Kondisi seperti itu menunjukkan
bahwa bahasa Helong sedang mengalami proses pergeseran.
4.1.3 Penggunaan Bahasa Helong dalam Ranah
Ketetanggaan
Berdasarkan
data yang diperoleh dari responden tentang pilihan bahasa yang digunakan dalam
ranah ketetanggaan yang mengacu pada keseringan ketiga kelompok menggunakan
bahasa Helong, khususnya dengan anggota tetangga dapat dilihat pada tabel
berikut.
a.
Kelompok
orang tua: KK dan ibu rumah tangga
Tabel 4.5 Penggunaan bahasa
dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok orang tua: KK dan ibu rumah
tangga dengan tetangga sebaya,
lebih tua, dan lebih muda (N=26+14=40)
Bahasa
|
Tetangga sebaya
|
Tetangga lebih tua
|
Tetangga lebih muda
|
|||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong (BH)
|
34
|
85
|
34
|
85
|
27
|
67,50
|
Bahasa Indonesia (BI)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
7,50
|
BH dan BI
|
6
|
15
|
6
|
15
|
10
|
25
|
Jumlah
|
40
|
100
|
40
|
100
|
40
|
100
|
Berdasarkan
data pada tabel 4.5, penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggaan bagi kelompok
orang tua menunjukkan kondisi bahasa Helong sedang dalam proses pergeseran,
yakni dengan tetangga sebaya (85%), tetangga lebih tua (85,%), tetangga lebih
muda (67,50%).
b.
Kelompok
dewasa
Tabel 4.6 Penggunaan
bahasa dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok
dewasa dengan tetangga
sebaya,
lebih tua, dan lebih muda (N=29)
Bahasa
|
Tetangga
sebaya
|
Tetangga lebih
tua
|
Tetangga lebih
muda
|
|||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong (BH)
|
7
|
24,14
|
24
|
82,76
|
0
|
0
|
Bahasa Indonesia (BI)
|
13
|
44,83
|
3
|
10,34
|
23
|
79,31
|
BH dan BI
|
9
|
31,03
|
2
|
6,90
|
6
|
20,69
|
Jumlah
|
29
|
100
|
29
|
100
|
29
|
100
|
Berdasarkan
data yang diperoleh (tabel 4.6), penggunaan bahasa Helong dalam ranah
ketetanggaan bagi kelompok dewasa menunjukkan bahasa Helong bertahan pada
interaksi dengan tetangga yang lebih tua (82,76%), sedangkan dengan tetangga
sebaya (7,00%) dan tetangga lebih muda (0%) menunjukkan bahasa mengalami
pergeseran.
c.
Kelompok
anak
Tabel 4.7 Penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok anak dengan tetangga
sebaya,
lebih tua, dan lebih muda (N=31)
Bahasa
|
Tetangga
sebaya
|
Tetangga
lebih tua
|
Tetangga
lebih muda
|
|||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Bahasa Indonesia
|
29
|
93,55
|
29
|
93,55
|
31
|
100
|
BH dan BI
|
2
|
6,45
|
2
|
6,45
|
0
|
0
|
Jumlah
|
31
|
100
|
31
|
100
|
31
|
100
|
Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 4.7),
penggunaan bahasa Helong dalam ranah ketetanggaan bagi kelompok anak
menunjukkan bahasa Helong mengalami pergeseran pada interaksi dengan semua
tetangga.
4.1.4 Penggunaan Bahasa Helong dalam Ranah Agama
Agama
mayoritas penutur Helong adalah Kristen protestan, disamping memiliki peran
penting dalam kehidupan sosial masyarakat juga berkaitan erat dengan kondisi
kebahasaan bahasa Helong. Dalam kegiatan keagamaan, seperti ibadah di gereja,
satu-satunya bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.
Dalam
hubungan dengan ranah agama yang dianut responden, yang rutin mengikuti
kegiatan ibadah di gereja menyatakan bahwa selama kegiatan berlangsung, bahasa Indonesia adalah pilihan
tunggal, dalam pengertian bahwa selama ibadah berlangsung, pendeta dalam kotbah/ceramahnya
menggunakan bahasa Indonesia.
Kenyataan itu membuktikan bahwa bahasa
Indonesia telah merembes ke ranah ini dan menggeser bahasa
Helong.
Dalam
kaitan dengan situasi kebahasaan bahasa Helong, penelitian mengarah pada
pendapat guyup tentang kemungkinan bahasa Helong digunakan untuk ceramah agama,
sebagian menyatakan setuju jika bahasa Helong digunakan untuk ceramah di
gereja. Untuk mengetahui kesetujuan dan ketidaksetujuan guyup Helong terhadap
bahasa Helong yang digunakan untuk ceramah keagamaan mengacu pada jawaban
responden pada tabel berikut.
a.
Kelompok
orang tua: KK dan ibu rumah tangga
Tabel 4.8 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok
orang tua Helong
terhadap
penggunaan bahasa Helong untuk ceramah agama (N= 40)
Pernyataan
|
f
|
%
|
Sama sekali
tidak setuju
|
3
|
7,50
|
Tidak setuju
|
19
|
47,50
|
Setuju saja,
tidak apa-apa
|
16
|
40
|
Tidak menjawab
|
2
|
5
|
Jumlah
|
40
|
100
|
Berdasarkan
data yang diperoleh (tabel 4.8), untuk mengetahui secara implisit lemahnya
loyalitas penutur asli bahasa Helong pada kelompok orang tua berdasarkan
kesetujuan dan ketidaksetujuan penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama,
diidentifikasi bahwa penggunaan bahasa Helong bergeser, yakni sama sekali tidak
setuju (7,50%) dan tidak setuju (47,50%).
b.
Kelompok
dewasa
Tabel 4.9 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok
dewasa Helong
terhadap
penggunaan BH untuk ceramah agama (N= 29)
Pernyataan
|
f
|
%
|
Sama sekali
tidak setuju
|
3
|
10,34
|
Tidak setuju
|
13
|
44,83
|
Setuju saja,
tidak apa-apa
|
12
|
41,38
|
Tidak menjawab
|
1
|
3,45
|
Jumlah
|
29
|
100
|
Berdasarkan
data yang diperoleh (tabel 4.9), untuk mengetahui secara implisit kurangnya loyalitas
penutur asli bahasa Helong pada kelompok dewasa berdasarkan kesetujuan dan
ketidaksetujuan penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama, juga menunjukkan penggunaan
bahasa Helong bergeser, yakni; sama sekali tidak setuju (10,34%) dan tidak
setuju (44,83%).
c.
Kelompok
anak
Tabel 4.10 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok
anak Helong
terhadap
penggunaan BH untuk ceramah agama (N= 31)
Pernyataan
|
f
|
%
|
Sama sekali
tidak setuju
|
0
|
0
|
Tidak setuju
|
27
|
87,10
|
Setuju saja, tidak
apa-apa
|
4
|
12,90
|
Tidak menjawab
|
0
|
0
|
Jumlah
|
31
|
100
|
Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 4.10),
untuk mengetahui secara implisit adanya loyalitas penutur asli bahasa Helong
kelompok anak berdasarkan kesetujuan dan ketidaksetujuan penggunaan bahasa
Helong dalam ranah agama, menunjukkan bahasa Helong bergeser, yakni tidak
setuju (87,10%).
4.1.5 Penggunaan Bahasa Helong dalam Ranah Adat
Dilihat
dari aspek sosial budaya, adat merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan sosial masyarakat yang menunjukkan ciri tersendiri bagi etnik pemilik
adat itu. Masyarakat Helong masih memegang teguh tradisi dan adat yang secara
tidak langsung mengimplikasikan adanya loyalitas yang tinggi dari penutur asli bahasa
Helong khusunya generasi tua. Sebagai bukti, masyarakat Helong sangat peduli
dengan adat itu, masyarakat masih konsisten melaksanakan upacara-upacara adat,
seperti upacara adat perkawinan, kehamilan, masa tanam, dan kematian. Setiap
upacara adat dilakukan, pemimpin upacara adat selalu menggunakan bahasa Helong
sebagai bahasa pengantar. Untuk mengetahui hal itu, analisis data mengacu pada
data yang diperoleh berdasarkan pengakuan responden tentang penggunaan bahasa Helong
dalam ranah adat (tabel 4.11) berikut.
Tabel 4.11 Penggunaan
bahasa dalam ranah adat (N= 100)
Ranah
|
Kelompok orang tua (N= 40)
|
Kelompok dewasa (N= 29)
|
Kelompok anak
(N= 31)
|
|||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Adat
|
40
|
100
|
29
|
100
|
24
|
77,42
|
Di
luar ranah adat
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
6,45
|
Tidak
tahu
|
0
|
0
|
0
|
0
|
5
|
16,13
|
Jumlah
|
40
|
100
|
29
|
100
|
31
|
100
|
Data yang diperoleh (tabel 4.11)
berdasarkan pengakuan ketiga kelompok responden tentang penggunaan bahasa
Helong dalam ranah adat secara keseluruhan menunjukkan bahasa Helong mengalami
pergeseran.
V. SIMPULAN DAN SARAN
Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai penelitian
ini, yakni untuk mengetahui kondisi kebahasaan Helong yang diteliti hanyalah
elemen sampel bukan seluruh elemen populasi. Namun demikian, penggunaan sampel
tetap lazim dalam penelitian pada umumnya, yakni dengan pemercontoh dengan cara
acak-berlapis, dengan rincian sebagai berikut: (a) mewakili kelompok orang tua;
(b) mewakili kelompok dewasa, dan (c) mewakili kelompok anak.
Selanjutnya,
hasil penelitian menyangkut situasi kebahasaan bahasa Helong dalam konteks
kedwibahasaan pada ranah keluarga, pendidikan, ketetanggaan, adat dan agama
menunjukkan bahasa Helong dalam kondisi bergeser. Penurunan jumlah penutur asli
bahasa Helong dari generasi ke generasi berikutnya dapat dipastikan bahasa
Helong akan punah. Penelitian ini hanyalah penelitian sederhana tentang masyarakat
dwibahasawan, tentang penggunaan bahasa Helong pada ranah keluarga, pendidikan,
ketetanggaan, dan adat. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan yang
lebih lengkap dengan sampel yang lebih besar dan variabel yang lebih beragam.
Situasi
kebahasaan masyarakat Helong yang tidak stabil menyebabkan penggunaan bahasa
Helong semakin lemah. Lemahnya penggunaan bahasa Helong dipengaruhi oleh faktor
penggunaan bahasa dalam masyarakat dwibahasa yang tidak seimbang cenderung
menggeser bahasa Helong sebagai B1. Hal itu dipengaruhi pemilihan dan
penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Intervensi bahasa Indonesia yang sangat dominan
dikhawatirkan berpengaruh negatif terhadap keberadaan bahasa Helong. Untuk itu,
agar bahasa Indonesia dan bahasa daerah dapat hidup berdampingan tanpa harus
saling menggeser satu sama lain, situasi kedwibahasaan seperti itu perlu
diciptakan. Untuk menciptakan situasi kedwibahasaan yang stabil, model
pengajaran kedwibahasaan perlu diperimbangkan terutama di daerah yang
penduduknya cukup terisolir.
Mengingat
bahasa Helong merupakan bahasa daerah dan aset bangsa, maka agar tetap bertahan
perlu melibatkan unsur-unsur pemerintahan, organisasi keagamaan, pakar-pakar
linguistik, dan tokoh masyarakat berperan aktif meningkatkan intensitas
penggunaan bahasa Helong dalam bentuk apresiasi seni budaya, khotbah keagamaan,
dan materi muatan lokal di sekolah-sekolah tingkat dasar.
Berdasarkan
kondisi kebahasaan yang diidentifikasi, perlu dilakukan dokumentasi bahasa
Helong sebelum bahasa itu punah sehingga hasil dokumentasi dapat dipergunakan
titik tolak penelitian bahasa di masa mendatang.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemberdayaan
bahasa Helong perlu menjadi perhatian pemerintah agar keberadaan bahasa daerah
tetap terpelihara dengan baik guna meningkatkan sumber daya manusia, khususnya
masyarakat suku Helong.
DAFTAR PUSTAKA
Chaer, Abdul dan
Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik
(Perkenalan Awal). Jakarta: Rineka
Cipta.
Charles E. Grimes.
1997. A Guide to the
People and Languages of Nusa Tenggara: Artha Wacana Press.
Dorian, N.
1978. Language Death: The Life Cycle of a Scottish Gaelic Dialect. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Edwards, John.
1985. Language, Society, and Identity. Oxford:
Basil Blackwell.
Fishman, Joshua A. 1966. Language Loyalty in the United States. The Hague Mouton.
Friedman, L, Thomas. 2005. The World
is Flat: A Brief Hystory of The Twenty-First
Century. USA: Farrar, Straus and Giroux.
Gal, Susan. 1979. Language Shift;
Determinants of Linguistics Change in Bilingual
Australia. New York: Academic Press.
Grosjean, Francois. 1982. Life with
Two Language: An Introduction to
Bilingualism. Cambridge: Harvard University Press.
Romaine, Suzanne.
1996. Bilingualism, Handbook of Second
Language Acquisition. San Diego, CA: Academic Press.
Langganan:
Komentar (Atom)