Jumat, 15 November 2013

BAHASA HELONG DI DESA OEMATNUNU, KECAMATAN KUPANG BARAT MENGALAMI PERGESERAN MENUJU KEPUNAHAN



Gregorius Sudaryono

Dosen Bahasa dan Sastra Inggris
Sekolah Tinggi Bahasa Asing (STIBA) Cakrawala Nusantara Kupang
Jl. Bunga Jati No. 88 Oesapa-Kelapa Lima Kupang


ABSTRACT

Research on language maintenance related to social factors included in sociolinguistic research. This research aims to describe the language situation in related to Helong language in the context of bilingualism in Helong community living in Oematnunu village, West Kupang Sub-district, Kupang regency.
This research study refers to the variable of bilingualism and social factors. Bilingualism variables consisted of variables bilingualism patterns, language attitudes, and the domain of language usage. The social factor variables consist of ages, sexes, education, occupation, population mobility, and homogeneous and heterogeneous residential areas.
Methods and data collection techniques used in this research include: methods of observation or surveys, questionnaires, interviews, focus groups, records, and documentation, and refer-notes technique. To obtain the expected data, respondents are enmeshed in this study of 100 respondents Helong tribe who live in the Oematnunu village and categorized into three groups, namely groups of children, adults, and parents.
Data obtained through these data collection techniques were analyzed using descriptive qualitative-analytic inductive method, in the sense of moving from data analysis to the concept or theory. The results of data analysis presented in the form of descriptions using the words are arranged in a systematic and structured and the tables containing the numbers and percentages according to the scope of the problem and research purposes.
The findings of this research indicate that attitudes, behaviors, and views of language that is not accommodating of the parent group to the next generation resulting in language Helong increasingly displaced by the B2. The use of B2 is increasingly intervening in every domain of language usage negatively affect Helong language shift.
  
Key words: sosiolinguistik, kedwibahasaan, pergeseran bahasa.kepunahan bahasa

I.          PENDAHULUAN
Keberadaan bahasa mempunyai peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia karena dengan bahasa manusia dapat berinteraksi sosial. Namun dalam perkembangannya, keberadaan bahasa sering terusik oleh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta arus globalisasi. Di sinilah faktor penutur bahasa menentukan keberadaan suatu bahasa di tengah-tengah kehidupan mereka.
Hal ini berkaitan dengan keberadaan bahasa Helong sangat bergantung kepada penutur aslinya untuk menentukan keberadaan bahasa itu di tengah arus globalisasi di segala bidang. Bahasa Helong adalah bahasa pertama (B1) yang digunakan suku Helong yang bermukim di wilayah ujung barat pulau Timor dekat pelabuhan Tenau, Kota Kupang hingga wilayah Amarasi, dan sebagian besar desa di pulau Semau. Bahasa Helong termasuk salah satu rumpun bahasa Austronesia di Indonesia Timur, khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Bahasa Helong terdiri atas tiga dialek, yakni dialek Helong Pulau, Helong Darat, dan Helong Funai. Komunitas penutur dialek Helong Darat dan Helong Funai bermukim di pulau Timor, sedangkan komunitas Helong Pulau bermukim di pulau Semau (Grimes, 1997: 42).
Mengingat bahasa Helong hidup berdampingan dengan bahasa multisuku yang mempetahankan identitas kesukuannya masing-masing, maka fenomena pergeseran bahasa (language shift) dan kepunahan bahasa (language death) dapat saja terjadi. Hal yang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa adalah jika masyarakat pemakai memilih bahasa baru untuk mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata lain, pergeseran bahasa terjadi karena masyarakat bahasa beralih ke bahasa lain yang dominan dan berprestise, yang digunakan dalam ranah-ranah pemakaian bahasa yang lama.
Dalam konsep pergeseran bahasa, bahasa mengalami pergeseran jika pemakaian antara B1 dan B2 tidak seimbang. Ketika keseimbangan ini tidak ada lagi, maka dua kemungkinan yang akan muncul, yaitu B1 tetap bertahan atau B1 tersingkir oleh B2 yang mengarah pada kepunahan. Menurut Edwards (1985:71-72), salah satu fenomena yang memicu terjadinya pergeseran bahasa disebabkan oleh berkurangnya jumlah penutur usia muda dari bahasa tersebut, karena mereka cenderung menggunakan bahasa lain yang dianggapnya lebih berprestise, seperti bahasa Indonesia dan bahasa Inggris.
Sebagaimana disinggung di atas, bahasa Helong merupakan salah satu bahasa daerah di kabupaten Kupang sebagai bahasa yang hidup berdampingan dengan BI dan bahasa-bahasa daerah yang lain, tentunya bahasa ini bisa mengalami pergeseran penggunaan oleh penuturnya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk faktor perkawinan campur, teknologi komunikasi, dan arus perpindahan penduduk. Jika hal itu terjadi, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa bahasa Helong mengalami pergeseran menuju kepunahan.
Berdasarkan gambaran pada latar belakang di atas, maka batasan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah situasi kebahasaan masyarakat Helong dalam konteks kedwibahasaan.

II.        KONSEP DAN TEORI
2.1       Pergeseran Bahasa
Dalam era globalisasi, perkembangan ilmu pengetahuan di bidang transportasi dan komunikasi meningkat sangat pesat, sehingga arus globalisasi terasa bertambah kuat dan dunia terasa makin datar (Friedman, 2005:24). Akibat derasnya arus globalisasi batas negara menjadi kabur dan akhirnya hilang. Tekanan arus globalisasi yang melanda bangsa-bangsa yang sedang berkembang menimbulkan perubahan yang semakin cepat dan luas dalam berbagai wilayah kehidupan. Globalisasi akan meningkatkan pemahaman antarbahasa guna menjalin persahabatan antarnegara dalam konteks ekonomi, sosial, politik, dan budaya.
Globalisasi memiliki banyak penafsiran dari berbagai sudut pandang. Sebagian besar orang menafsirkan sebagai proses pengecilan dunia atau menjadikan dunia sebagaimana layaknya sebuah desa kecil, setiap orang bisa berkomunikasi dengan sangat mudah, berhubungan dengan waktu yang singkat, dan dengan biaya yang relatif rendah. Globalisasi adalah akibat dari revolusi teknologi, komunikasi, dan informasi yang dapat berimbas pada tatanan masyarakat, bangsa, dan negara di berbagai belahan dunia. Setiap bangsa di dunia tidak dapat melepaskan diri dari arus global akibat revolusi tersebut. Dengan kondisi seperti itu, persaingan antar wilayah pun semakin tinggi. Siapa yang menguasai komunikasi dialah yang akan menguasai dunia. Bahasa merupakan alat komunikasi di dunia. Oleh karena itu, eksistensinya di tengah arus global harus dicermati.
Arus global berimbas pula pada penggunaan dan keberadaan bahasa daerah di masyarakat. Penggunaan bahasa di dunia maya, internet, facebook,  misalnya, memberi banyak perubahan bagi struktur  yang oleh beberapa pihak disinyalir merusak bahasa itu sendiri. Berlandaskan alasan globalisasi dan prestise, masyarakat mulai kehilangan rasa bangga menggunakan bahasa daerah. Tidak hanya pada rakyat kecil, ‘krisis bahasa’ juga ditemukan pada para pejabat negara. Kurang intelek katanya kalau dalam setiap ucapan tidak dibumbui selingan bahasa asing yang sebenarnya tidak perlu. Hal tersebut memunculkan istilah baru, yaitu ‘Indoglish’ kependekan dari ‘Indonesian-English’ untuk fenomena bahasa yang kian menghantam bahasa Indonesia.
Sulit dipungkiri memang, bahasa asing kini telah menjamur peng-gunaannya. Mulai dari judul film, judul buku, judul lagu, sampai pemberian nama merk produk dalam negeri. Kita pun merasa lebih bangga jika lancar dalam berbicara bahasa asing. Namun, apapun alasannya, entah itu menjaga prestise, mengikuti perkembangan zaman, ataupun untuk meraup keuntungan, tanpa kita sadari secara perlahan kita telah ikut andil dalam mengikis keberadaan bahasa daerah kita sendiri.
Fakta menunjukkan bahwa, sekarang ini penggunaan penggunaan bentuk ‘Inggris’ sudah banyak menggejala. Dalam bidang internet dan komputer, kita banyak menggunakan kata mendownload, mengupload, mengupdate, dienter, direlease, didiscount, dan lain sebagainya. Tidak hanya dalam bidang komputer, di bidang lain pun sering kita jumpa bahwa, selain bahasa asing, kedudukan bahasa daerah juga semakin terdesak dengan pemakain bahasa-bahasa gaul di kalangan remaja. Bahasa gaul tersebut sering kita temukan dalam pesan singkat atau sms, seperti chaBHing dan sejenisnya. Misalnya, dalam kalimat ’gue gitu loh pa sich yg ga bs kata ganti aku tidak dipakai lagi, tetapi sudah diganti dengan gue.
Fenomena di atas dapat mengakibatkan pergeseran bahasa daerah. Fenomena pergeseran bahasa sebenarnya telah ada sejak bahasa-bahasa itu mulai mengadakan kontak dengan bahasa lainnya (Grosjean 1982). Kontak antardua suku yang masing-masing membawa bahasanya sendiri-sendiri lambat laun mengakibtakan terjadinya persaingan kebahasaan. Pada umumnya, dalam persaingan kebahasaan terjadi fenomena-fenomena kebahasaan yang diawali dengan kedwibahsaan, diglosia, alih kode/campur kode, interferensi, dan akhirnya permertahanan dan pergeseran bahasa. Jika satu bahasa lebih dominan, lebih berprestise, atau lebih modern atau bahkan mungkin lebih “superior” daripada bahasa lain, bahasa tersebut dipastikan dapat bertahan, sedangkan lainnya dalam beberapa generasi akan ditinggalkan oleh penuturnya. Tidak jarang bahasa yang ditelantarkan oleh penuturnya itu lambat laun mengakibatkan kematian bahasa (Dorian 1978: 647).
Dalam kepustakaan sosiolinguistik, pergeseran bahasa merupakan fenomena yang menarik untuk dibahas. Terminologi pergeseran bahasa pertama kali diperkenalkan oleh Fishman pada tahun 1964 yang selanjutnya dikembangkan oleh Susan (1979: 107) yang meneliti masalah pilihan dan pergeseran bahasa di Oberwart, Austria timur, yang mengkaji pergeseran bahasa Gaelik oleh bahasa Inggris di Sutherland Timur, Britania bagian utara. Pergeseran bahasa erat kaitannya dengan ranah yang berkaitan dengan pilihan bahasa dan kewibahasaan. Kajian ketahanan dan pergeseran bahasa perlu dikaitkan dengan konsep pemilihan bahasa. Pemahaman pilihan bahasa dalam ranah yang dihubungkan dengan konsep diglosia di atas sangat penting, artinya karena dengan kebocoran diglosia yang menyebabkan bahasa bergeser dapat dilihat.

2.2       Kepunahan Bahasa
Kepunahan suatu bahasa bertitik-tolak dari kontak dua bahasa atau lebih dalam suatu masyarakat. Gejala kepunahan bahasa akan tampak dalam proses yang cukup panjang. Mula-mula tiap-tiap bahasa masih dapat digunakan oleh penutur aslinya dalam berbagai ranah. Kemudian pada suatu masa transisi, masyarakat tersebut menjadi dwibahasawan sebagai suatu tahapan sebelum kepunahan bahasa aslinya dan dalam jangka waktu beberapa generasi mereka bertrasformasi menjadi masyarakat ekabahasawan kembali. Dengan demikian, pergeseran bahasa mencakup pertama-pertama kedwibahasaan (seringkali bersama diglosia) sebagai suatu tahapan menuju keekabahasaan.
Hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan di berbagai tempat menunjukkan bahwa banyak faktor yang menyebabkan pergeseran dan kepunahan suatu bahasa, seperti loyalitas bahasa, konsentrasi wilayah pemukiman penutur, pemakaian bahasa pada ranah tradisional sehari-hari, kesinambungan peralihan B1 antargenerasi, pola-pola kedwibahasaan, mobilitas sosial, sikap bahasa dan lain-lain. Menurut Romaine (1996), faktor-faktor itu juga dapat berupa kekuatan kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, kelas sosial, latar belakang agama dan pendidikan, hubungan dengan tanah leluhur atau asal, tingkat kemiripan antara bahasa mayoritas dengan bahasa minoritas, sikap kelompok mayoritas terhadap kelompok minoritas, perkawinan campur, kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa dan pendidikan kelompok minoritas, di samping pengaruh pola pemakaian bahasa. Sesungguhnya, terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa di masyarakat. Namun, faktor-faktor itu bervariasi antara satu wilayah dengan wilayah lain. Grosjean (1982: 107) mengelompokkan faktor-faktor tersebut ke dalam lima faktor, yaitu: sosial, sikap, pemakaian, bahasa, kebijakan pemerintah, dan faktor-faktor lain.

III.       METODE PENELITIAN
Berdasarkan latar belakang permasalahannya, penelitian ini termasuk dalam jenis penelitian deskriptif-kualitatif dengan menggunakan kerangka fenomenologis sebagai landasan filosofisnya. Sesuai landasan filosofis yang menafasirnya, penelitian ini beraras pada data faktual dan data tersebut dikaji dan disajikan sebagaimana dan apa adanya sesuai realitas yang ditemukan pada saat penelitian ini dilakukan. Bersamaan dengan itu, salah satu alasan penelitian ini berupaya menjawab permasalahan berdasarkan situasi kebahasaan masyarakat Helong dalam konteks kedwibahasaan.
Dalam rangka menjawab masalah yang ditelaah dalam penelitian ini, metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pengamatan, metode kuesioner, metode wawancara, metode diskusi kelompok terarah, rekam, dan metode dokumentasi.
IV.       BAHASAN
Pembahasan yang disampaikan menyangkut persoalaan tentang situasi kebahasaan masyarakat Helong dalam konteks kedwibahasaan merupakan gejala yang dapat menumbuhkan persaingian antarbahasa sehingga memungkinkan bahasa-bahasa tertentu mengalami pergeseran dalam persaingan yang mengakibatkan terjadinya kepunahan bahasa. Bagi peneliti sosiolinguistik, keanekaragaman bahasa yang berkaitan dengan pergeseran dan kepunahan bahasa merupakan masalah yang menarik untuk dibicarakan, selanjutnya (Sumarsono, 1955:173) membahas pergeseran bahasa erat kaitannya dengan kepunahan bahasa, artinya tidak ada lagi loyalitas yang tinggi dari masyarakat tutur terhadap bahasanya.
Pembahasan tentang situasi kebahasaan masyarakat Helong dalam konteks kedwibahasaan didasarkan atas ranah-ranah penggunaan bahasa seperti ranah keluarga, ranah pendidikan, ranah adat, ketetanggaan, dan ranah agama menunjukkan adanya pergeseran bahasa Helong menuju kepunahan.

4.1.1    Penggunaan Bahasa Helong dalam Ranah Keluarga
Berdasarkan data yang diperoleh dari responden tentang pilihan bahasa yang digunakan dalam ranah rumah tangga mengacu pada keseringan kelompok dewasa dan anak menggunakan bahasa Helong pada ranah keluarga, khususnya dengan anggota keluarga yang lebih tua. Untuk mengetahui tingkat keseringan berbahasa Helong bagi kelompok itu, diperoleh data sebagai berkut.
a.    Kelompok dewasa
Tabel 4.1 Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga antarapenutur kelompok dewasa dengan kakek nenek, bapak-ibu, saudara kandung, dan penghuni lain se rumah (N=29)

Bahasa
Kakek-nenek
Bapak-ibu
Saudara kandung
Penghuni lain
f
%
f
%
f
%
f
%
Bahasa Helong
18
62,07
  9
31,03
2
  6,90
  6
20,69
Bahasa Indonesia
  4
13,79
16
55,17
22
75,86
17
58,62
BH dan BI
  7
24,14
  4
13,79
5
17,24
  6
20,69
Jumlah
29
100
29
100
29
100
29
100
Data pada tabel 4.1 menunjukkan adanya penggunaan bahasa Helong bagi dewasa pada ranah keluarga ketika berkomunikasi dengan kakek-nenek (62,07%), bapak-ibu (31,03%), saudara kandung (6,90%), dan penghuni lain (20,69%). Sedangkan frekuensi keseringan penggunaan bahasa campur (bahasa Helong dan bahasa Indonesia) dalam ranah itu juga dapat dilihat pada tabel, yakni dengan kakek-nenek (24,14%), bapak-ibu (13,79%), saudara kandung (17,24%), dan penghuni lain (20,69%).
Pilihan bahasa yang melibatkan bahasa Helong sebagai bahasa komunikasi dalam ranah keluarga menunjukkan adanya kemampuan dewasa Helong menggunakan bahasa Helong yang tingkat kemampuannya sulit diukur oleh penuturnya. Terlepas dari persoalan yang mengacu pada pengakuan atau jawaban atas pertanyaan di atas, sebagian penutur muda Helong memperlihatkan bahasa Helong mengalami pergeseran.
b.      Kelompok anak
Tabel 4.2 Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga antara penutur kelompok Anak dengan kakek-nenek, bapak-ibu, saudara kandung, dan penghuni lain se rumah (N=31)

Bahasa
Kakek-nenek
Bapak-ibu
Saudara kandung
Penghuni lain
f
%
f  
%
f  
%
f
%
Bahasa Helong (BH)
  4
12,90
  2
6,45
 0
   0
1
  3,23
Bahasa Indonesia (BI)
21
67,74
19
61,29
31
100
28
90,32
BH dan BI
  6
19,35
10
32,26
 0
   0
2
 6,45
Jumlah
    31
100
31
100
 31
 100
31
100
Data pada tabel 4.2 menunjukkan adanya penurunan jumlah penutur Helong pada kelompok anak jika dibandingkan dengan kelompok dewasa, yang secara keseluruhan memperlihatkan persentase pada tabel berikut.
Tabel 4.3 Keadaan penggunaan bahasa dalam ranah keluarga
bagi penutur kelompok dewasa dan anak
Anggota keluarga
Penggunaan Bahasa Helong
Selisih
Dewasa
Anak-anak

f
%
f
%
f
%
Kakek-nenek
  18
62,07
4
12,90
14
49,17
Bapak-ibu
9
31,03
2
 6,45
 7
24,58
Saudara kandung
2
 6,90
0
   0
 2
 6,90
Penghuni lain
6
20,69
1
3,23
 5
     17,46
Data pada tabel 4.3 menunjukkan penurunan jumlah penutur dan persentase dalam penggunaan bahasa Helong pada generasi berikutnya, dengan kakek nenek; 49,17 %, dengan bapak-ibu; 24,58 %, dengan saudara kandung; 6,90 %, dan dengan penghuni lain; 17,46 %. Penurunan jumlah penutur Helong generasi berikutnya pada tabel 4.3 terjadi pada semua lawan bicara dalam ranah keluarga. Berdasarkan analisis data di atas, penggunaan bahasa Helong pada ranah keluarga terlihat responden kelompok dewasa masih menggunakan bahasa Helong dengan semua lawan bicara di dalam keluarga, masing-masing; 62,07%, 31,03%, 6,90%, dan 20,69%, begitu juga halnya dengan responden kelompok anak, masing-masing; 12,90%, 6,45%, 0%, dan 3,23%.
Kondisi kebahasaan sebagai akibat pengalihan bahasa dari generasi ke generasi berikutnya seperti yang nampak pada tabel itu menunjukkan bahwa dalam ranah keluarga bahasa Helong sedang mengalami pergeseran. Artinya, bahasa Helong masih digunakan oleh penuturnya, yang jika terjadi penurunan terus-menerus dari generasi ke generasi, tidak menutup kemungkinan bahasa Helong punah. Berbicara tentang pergeseran bahasa, faktor kedwibahasaan bukanlah satu-satunya faktor penyebab terjadinya pergeseran bahasa Chaer (2004:142). Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan beberapa faktor penyebab terjadinya pergeseran bahasa yang disebabkan, antara lain, pengaruh faktor perpindahan penduduk, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan. Dari ketiga faktor itu, yang berhubungan dengan fenomena kebahasaan bahasa Helong yang mengarah ini adalah faktor pendidikan.

4.1.2    Penggunaan Bahasa Helong dalam Ranah Pendidikan
Penggunaan bahasa dalam ranah pendidikan dapat dilihat pada tabel 4.4, disajikan berdasarkan jawaban responden tentang penggunaan bahasa di lingkungan sekolah.
a.          Kelompok dewasa dan anak
Tabel 4.4 Penggunaan bahasa dalam ranah pendidikan antara anak dengan teman sekelas, guru, dan pegawai di sekolah (N=29+31= 60)
Bahasa
Teman se kelas
Guru
Pegawai/pesuruh
f
%
f
%
f
%
Bahasa Helong
  0
   0
  0
   0
  0
   0
Bahasa Indonesia
49
81,67
60
100
60
100
BH dan BI
11
18,33
       0
   0
  0
   0
Jumlah
60
100
60
100
60
100
Data pada tabel 4.4 menggambarkan bahwa dalam ranah pendidikan, responden memilih bahasa Helong untuk berbicara dengan lawan bicara; teman se kelas (0%), guru (0%), dan pegawai/pesuruh (0%); bahasa Indonesia untuk berbicara dengan lawan bicara; teman se kelas (81,67%), guru (100%), dan pegawai/pesuruh (100%); bahasa Helong dan bahasa Indonesia untuk berbicara dengan teman se kelas (18,33%), guru (0%), dan pegawai/pesuruh (0%). Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa bahasa Helong sedang mengalami proses pergeseran.
  
4.1.3    Penggunaan Bahasa Helong dalam Ranah Ketetanggaan
Berdasarkan data yang diperoleh dari responden tentang pilihan bahasa yang digunakan dalam ranah ketetanggaan yang mengacu pada keseringan ketiga kelompok menggunakan bahasa Helong, khususnya dengan anggota tetangga dapat dilihat pada tabel berikut.
a.       Kelompok orang tua: KK dan ibu rumah tangga
Tabel 4.5 Penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok orang tua: KK dan ibu rumah tangga dengan tetangga sebaya, lebih tua, dan lebih muda (N=26+14=40)

Bahasa
Tetangga sebaya
Tetangga lebih tua
Tetangga lebih muda
f
%
f
%
f 
%
Bahasa Helong (BH)
34
85
34
    85
27
67,50
Bahasa Indonesia (BI)
  0
  0
  0
      0
  3
  7,50
BH dan BI
  6
15
  6
    15
10
     25
Jumlah
40
100
40
  100
40
   100

Berdasarkan data pada tabel 4.5, penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggaan bagi kelompok orang tua menunjukkan kondisi bahasa Helong sedang dalam proses pergeseran, yakni dengan tetangga sebaya (85%), tetangga lebih tua (85,%), tetangga lebih muda (67,50%).
b.         Kelompok dewasa
     Tabel 4.6 Penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok 
         dewasa dengan tetangga sebaya, lebih tua, dan lebih muda (N=29)

Bahasa
Tetangga sebaya
Tetangga lebih tua
Tetangga lebih muda
f
%
f
%
f
%
Bahasa Helong (BH)
 7
24,14
24
82,76
0
0
Bahasa Indonesia (BI)
13
44,83
3
10,34
23
79,31
BH dan BI
 9
31,03
2
6,90
 6
20,69
Jumlah
29
100
   29
100
    29
100
Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 4.6), penggunaan bahasa Helong dalam ranah ketetanggaan bagi kelompok dewasa menunjukkan bahasa Helong bertahan pada interaksi dengan tetangga yang lebih tua (82,76%), sedangkan dengan tetangga sebaya (7,00%) dan tetangga lebih muda (0%) menunjukkan bahasa mengalami pergeseran.

c.       Kelompok anak
Tabel 4.7 Penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok anak dengan tetangga sebaya, lebih tua, dan lebih muda (N=31)

Bahasa
Tetangga sebaya
Tetangga
lebih tua
Tetangga
lebih muda
f
%
f
%
f
%
Bahasa Helong
  0
    0
 0
    0
 0
0
Bahasa Indonesia
29
93,55
29
93,55
31
  100
BH dan BI
 2
 6,45
  2
 6,45
 0
0
Jumlah
31
100
    31
100
    31
  100

Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 4.7), penggunaan bahasa Helong dalam ranah ketetanggaan bagi kelompok anak menunjukkan bahasa Helong mengalami pergeseran pada interaksi dengan semua tetangga.

4.1.4    Penggunaan Bahasa Helong dalam Ranah Agama
Agama mayoritas penutur Helong adalah Kristen protestan, disamping memiliki peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat juga berkaitan erat dengan kondisi kebahasaan bahasa Helong. Dalam kegiatan keagamaan, seperti ibadah di gereja, satu-satunya bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.  
Dalam hubungan dengan ranah agama yang dianut responden, yang rutin mengikuti kegiatan ibadah di gereja menyatakan bahwa selama kegiatan berlangsung, bahasa Indonesia adalah pilihan tunggal, dalam pengertian bahwa selama ibadah berlangsung, pendeta dalam kotbah/ceramahnya menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan itu membuktikan bahwa bahasa Indonesia telah merembes ke ranah ini dan menggeser bahasa Helong. 
Dalam kaitan dengan situasi kebahasaan bahasa Helong, penelitian mengarah pada pendapat guyup tentang kemungkinan bahasa Helong digunakan untuk ceramah agama, sebagian menyatakan setuju jika bahasa Helong digunakan untuk ceramah di gereja. Untuk mengetahui kesetujuan dan ketidaksetujuan guyup Helong terhadap bahasa Helong yang digunakan untuk ceramah keagamaan mengacu pada jawaban responden pada tabel berikut.

a.          Kelompok orang tua: KK dan ibu rumah tangga
Tabel 4.8 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok orang tua Helong
terhadap penggunaan bahasa Helong untuk ceramah agama (N= 40)
Pernyataan
f
%
Sama sekali tidak setuju
             3
       7,50
Tidak setuju
           19
     47,50
Setuju saja, tidak apa-apa
           16
     40
Tidak menjawab
             2
       5
Jumlah
           40
   100
Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 4.8), untuk mengetahui secara implisit lemahnya loyalitas penutur asli bahasa Helong pada kelompok orang tua berdasarkan kesetujuan dan ketidaksetujuan penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama, diidentifikasi bahwa penggunaan bahasa Helong bergeser, yakni sama sekali tidak setuju (7,50%) dan tidak setuju (47,50%).
b.   Kelompok dewasa
Tabel 4.9 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok dewasa Helong
terhadap penggunaan BH untuk ceramah agama (N= 29)
Pernyataan
f
%
Sama sekali tidak setuju
          3
     10,34
Tidak setuju
        13
     44,83
Setuju saja, tidak apa-apa
        12
     41,38
Tidak menjawab
          1
       3,45
Jumlah
        29
  100

Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 4.9), untuk mengetahui secara implisit kurangnya loyalitas penutur asli bahasa Helong pada kelompok dewasa berdasarkan kesetujuan dan ketidaksetujuan penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama, juga menunjukkan penggunaan bahasa Helong bergeser, yakni; sama sekali tidak setuju (10,34%) dan tidak setuju (44,83%).
c.    Kelompok anak
Tabel 4.10 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok anak Helong
terhadap penggunaan BH untuk ceramah agama (N= 31)
Pernyataan
f
%
Sama sekali tidak setuju
          0
         0
Tidak setuju
        27
       87,10
Setuju saja, tidak apa-apa
          4
       12,90
Tidak menjawab
          0
         0
Jumlah
        31
     100

Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 4.10), untuk mengetahui secara implisit adanya loyalitas penutur asli bahasa Helong kelompok anak berdasarkan kesetujuan dan ketidaksetujuan penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama, menunjukkan bahasa Helong bergeser, yakni tidak setuju (87,10%).
4.1.5    Penggunaan Bahasa Helong dalam Ranah Adat
Dilihat dari aspek sosial budaya, adat merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat yang menunjukkan ciri tersendiri bagi etnik pemilik adat itu. Masyarakat Helong masih memegang teguh tradisi dan adat yang secara tidak langsung mengimplikasikan adanya loyalitas yang tinggi dari penutur asli bahasa Helong khusunya generasi tua. Sebagai bukti, masyarakat Helong sangat peduli dengan adat itu, masyarakat masih konsisten melaksanakan upacara-upacara adat, seperti upacara adat perkawinan, kehamilan, masa tanam, dan kematian. Setiap upacara adat dilakukan, pemimpin upacara adat selalu menggunakan bahasa Helong sebagai bahasa pengantar. Untuk mengetahui hal itu, analisis data mengacu pada data yang diperoleh berdasarkan pengakuan responden tentang penggunaan bahasa Helong dalam ranah adat (tabel 4.11) berikut.
Tabel 4.11 Penggunaan bahasa dalam ranah adat (N= 100)

Ranah
Kelompok orang tua (N= 40)
Kelompok dewasa (N= 29)
Kelompok anak
(N= 31)
f
%
f
%
f
%
Adat
    40
   100
29
100
24
77,42
Di luar ranah adat
     0
  0
     0
         0
  2
 6,45
Tidak tahu
     0
  0
 0
         0
  5
     16,13
Jumlah
40
   100
29
     100
31
  100
     
Data yang diperoleh (tabel 4.11) berdasarkan pengakuan ketiga kelompok responden tentang penggunaan bahasa Helong dalam ranah adat secara keseluruhan menunjukkan bahasa Helong mengalami pergeseran.

V.        SIMPULAN DAN SARAN
Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai penelitian ini, yakni untuk mengetahui kondisi kebahasaan Helong yang diteliti hanyalah elemen sampel bukan seluruh elemen populasi. Namun demikian, penggunaan sampel tetap lazim dalam penelitian pada umumnya, yakni dengan pemercontoh dengan cara acak-berlapis, dengan rincian sebagai berikut: (a) mewakili kelompok orang tua; (b) mewakili kelompok dewasa, dan (c) mewakili kelompok anak.
Selanjutnya, hasil penelitian menyangkut situasi kebahasaan bahasa Helong dalam konteks kedwibahasaan pada ranah keluarga, pendidikan, ketetanggaan, adat dan agama menunjukkan bahasa Helong dalam kondisi bergeser. Penurunan jumlah penutur asli bahasa Helong dari generasi ke generasi berikutnya dapat dipastikan bahasa Helong akan punah. Penelitian ini hanyalah penelitian sederhana tentang masyarakat dwibahasawan, tentang penggunaan bahasa Helong pada ranah keluarga, pendidikan, ketetanggaan, dan adat. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan yang lebih lengkap dengan sampel yang lebih besar dan variabel yang lebih beragam.
Situasi kebahasaan masyarakat Helong yang tidak stabil menyebabkan penggunaan bahasa Helong semakin lemah. Lemahnya penggunaan bahasa Helong dipengaruhi oleh faktor penggunaan bahasa dalam masyarakat dwibahasa yang tidak seimbang cenderung menggeser bahasa Helong sebagai B1. Hal itu dipengaruhi pemilihan dan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Intervensi bahasa Indonesia yang sangat dominan dikhawatirkan berpengaruh negatif terhadap keberadaan bahasa Helong. Untuk itu, agar bahasa Indonesia dan bahasa daerah dapat hidup berdampingan tanpa harus saling menggeser satu sama lain, situasi kedwibahasaan seperti itu perlu diciptakan. Untuk menciptakan situasi kedwibahasaan yang stabil, model pengajaran kedwibahasaan perlu diperimbangkan terutama di daerah yang penduduknya cukup terisolir.       
Mengingat bahasa Helong merupakan bahasa daerah dan aset bangsa, maka agar tetap bertahan perlu melibatkan unsur-unsur pemerintahan, organisasi keagamaan, pakar-pakar linguistik, dan tokoh masyarakat berperan aktif meningkatkan intensitas penggunaan bahasa Helong dalam bentuk apresiasi seni budaya, khotbah keagamaan, dan materi muatan lokal di sekolah-sekolah tingkat dasar.
Berdasarkan kondisi kebahasaan yang diidentifikasi, perlu dilakukan dokumentasi bahasa Helong sebelum bahasa itu punah sehingga hasil dokumentasi dapat dipergunakan titik tolak penelitian bahasa di masa mendatang.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemberdayaan bahasa Helong perlu menjadi perhatian pemerintah agar keberadaan bahasa daerah tetap terpelihara dengan baik guna meningkatkan sumber daya manusia, khususnya masyarakat suku Helong.


DAFTAR PUSTAKA


Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik (Perkenalan Awal). Jakarta: Rineka Cipta.

Charles E. Grimes. 1997. A Guide to the People and Languages of Nusa Tenggara: Artha Wacana Press.

Dorian, N.  1978. Language Death: The Life Cycle of a Scottish Gaelic Dialect. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Edwards, John. 1985. Language, Society, and Identity. Oxford: Basil Blackwell.

Fishman, Joshua A. 1966. Language Loyalty in the United States.  The Hague Mouton.

Friedman, L, Thomas. 2005. The World is Flat: A Brief Hystory of The Twenty-First Century. USA: Farrar, Straus and Giroux.

Gal, Susan. 1979. Language Shift; Determinants of Linguistics Change in Bilingual Australia. New York: Academic Press.

Grosjean, Francois. 1982. Life with Two Language:  An Introduction to Bilingualism. Cambridge: Harvard University Press.

Romaine, Suzanne. 1996. Bilingualism, Handbook of Second Language Acquisition. San Diego, CA: Academic Press.

Sumarsono. 1995. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.