Rabu, 04 Desember 2013

PROSES MORFOLOGIS BAHASA JAWA SEBUAH ANALISIS TIPOLOGI MORFOLOGIS



ABSTRACT

Word formation is a very interesting morphological phenomenon to be analyzed, especially affixation in Javanese language that so far its discussion has very limited and traditional descriptive. Therefore, it needs a more sophisticated theoretical model, such as the theory of generative morphology developed by Morris Halle (1973), Aronoff (1976), Scalise (1984), and Dardjowidjoyo (1988) in the approach to the study of word formation resulting in order to conclude more comprehensive description.
The basic theory of generative morphology is the formation of more words through affixation process called agglutination-type languages, including Javanese language. Word formation through affixation process forms new words in addition to reduplication and compounding processes.
Based on analysis, the affixation process in Javanese language is in accordance with the rule of the word formation (KPK) that regulates agglutination among morphemes to form the actual and potential words. Potential word formation is classified as lingual unit that does not exist in reality but might exist due to meet the requirements. Word formation rule that meets all the requirements and the fact, they are not existed in the language have not been ouput from the filter to be words written in the dictionary.

Key words: generative morphology, word formation rule, affixation


ABSTRAK

Pembentukan kata merupakan sebuah fenomena morfologis yang sangat menarik untuk dikaji, khususnya afiksasi dalam bahasa Jawa yang selama ini jangkauan pembahasannya sangat terbatas dan bersifat deskriptif tradisional. Untuk itu perlu suatu model teoritis yang lebih mutakhir, seperti teori morfologi generatif yang dikembangkan oleh Moris Halle (1973), Aronoff (1976), Scalise (1984), dan Dardjowidjoyo (1988) dalam pendekatan terhadap kajian pembentukan kata sehingga menghasilkan pemerian yang lebih komprehensif.
Teori dasar morfologi generatif adalah pembentukan kata lebih banyak melalui proses afiksasi yang disebut bahasa yang bertipe aglutinasi, termasuk bahasa Jawa. Pembentukan kata melalui proses afiksasi itu menghasilkan kata baru disamping proses reduplikasi dan pemajemukan.
Berdasarkan analisis, proses afiksasi dalam bahasa Jawa sesuai dengan kaidah pembentukan kata (KPK) yang mengatur perpaduan antar morfem untuk membentuk kata secara aktual dan potensial. Pembentukan kata secara potensial dikategorikan sebagai satuan lingual yang belum ada dalam realitas namun mungkin akan ada karena memenuhi persyaratan. Kaidah pembentukan yang memenuhi segala persyaratan dan kenyataannya belum terdapat dalam bahasa tersebut belum lolos dari saringan untuk kata-kata yang disimpan dalam kamus.          
  
Kata kunci: morfologi generatif, kaidah pembentukan kata, afiksasi




1           Pendahuluan
        Proses morfologis termasuk dalam bidang analisis linguistik. Pada awalnya analisis linguistik ini didasarkan pada pemisahan tataran dan diidealkan sebagai suatu studi yang mengacu pada seleksi suatu dimensi struktur bahasa yang secara formal berhubungan dengan tingkatan linguistik mulai dari fonologi, morfologi, sintaksis dan semantik.
   Dalam tataran ini morfologi merupakan ilmu yang mempelajari struktur kata. Dengan berkembangnya aliran strukturalis dan generatif pemisahan tataran dalam analisis memudar dan selanjutnya berkembang ke arah doktrin keterkaitan tataran pada suatu fokus analisis (Katamba, 1993: 3-16). Oleh karena itu analisis morfologis yang berhubungan dengan tataran lain seperti fonologi, sintaksis dan semantik memungkinkan adanya kajian proses morfologis yang lebih komprehensif.
       Katamba (1993:19) menyatakan bahwa morfologi adalah studi tentang strukur kata sedangkan (lihat Nida 1949) menganggap morfologi sebagai studi tentang morfem dan distribusinya dalam pembentukan kata. Dalam International Encyclopedia of Linguistiucs (1992) disebutkan bahwa secara tradisional jangkauan Morfologi mencakup: (1) inflectional morphology yang mempelajari bagaimana kata bervariasi dalam mengungkapkan perbedaan gramatikal dalam suatu kalimat, dan (2) derivational morphology yang mempelajari prinsip-prinsip yang mengatur pembentukan kata tanpa mengacu pada peran gramatikal tertentu dalam sebuah kalimat. Dalam model Bauer (1983) Morfologi mencakup inflection dan word formation yang selanjutnya word formation tersebut bisa dibedakan menjadi (a) derivation dan (b) composition (compounding)
Pembentukan verba kausatif (selanjutnya disebut VK) dalam bahasa Inggris misalnya, merupakan sebuah fenomena morfologis yang cukup menarik untuk dikaji. Sepanjang pengamatan penulis walupun pembicaraan mengenai VK pada umumnya dan proses pembentukan verba tersebut pada khususnya bisa dijumpai dalam berbagai pustaka tatabahasa Jawa namun jangkauan pembicaraan sangat terbatas dan bersifat deskriptif tradisional. Untuk itu perlu suatu model teoretis yang lebih mutakhir (seperti Morfologi Generatif) dalam pendekatan terhadap kajian VK sehingga menghasilkan pemerian yang lebih komprehensif.
            Perhatian para linguis terhadap teori morfologi generatif mulai berkat ajakan Chomsky (1970) melalui tulisannya yang berjudul “Remarks on Nominalisation”. Dalam tulisannya itu ia memaparkan betapa pentingnya bidang morfologi terutama proses pembentukan kata yang ditinjau dari teori transformasi.
Dardjowijojo (1988:32) mencatat bahwa orang yang pertama kali menaruh minat yang serius terhadap morfologi generatif adalah Morris Halle dalam papernya yang berjudul “Morphology in a Generative Grammar” yang disajikan pada Congress of Linguists di Bologna tahun 1972. Tahun berikutnya karya tersebut diterbitkan dengan judul “Prolegomena to a Theory of Word Formation”. Tulisan Halle memberikan dampak yang sangat kuat dan diikuti oleh ahli-ahli lain seperti Siegel (1974). Botha (1974), Boas (1974), Lipka (1975) dalam bentuk artikel dan oleh Aronoff (1976) serta Scalise (1984) dalam bentuk buku. Secara umum dapat diidentifikasi bahwa di kalangan kelompok orang-orang yang menekuni bidang morfologi generatif, terdapat dua pandangan. Kelompok pertama dipelopori oleh Halle yang berpijak pada asumsi bahwa yang menjadi dasar dari semua derivasi adalah morfem (morpheme-based approach); kelompok yang kedua dipelopori oleh Aronoff yang memakai kata dan bukan morfem sebagai dasar (word-based approach) Dardjowijojo (1988:33).
Berbagai konsep dan model teoretis muthakhir perlu diujicobakan atau diaplikasikan pada studi kasus dalam berbagai bahasa sehingga keunggluan dan kelemahan teori tersebut bisa diidentifikasi serta selanjutnya bisa dipakai mengungkap atau mengkaji fenomena linguistik khususnya dalam bidang morfologi suatu bahasa secara lebih tuntas, termasuk bahasa Jawa.
Walaupun kita bisa memahami keuniversalan bahasa, namun bahasa juga bersifat arbitrer dan sampai batas-batas tertentu setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Setiap bahasa, termasuk bahasa Jawa juga memiliki kemiripan dan perbedaan dengan bahasa lain dalam cara bagaimana membentuk kata. Atas dasar pola tipikal pembentukan kata inilah para linguis membedakan 5 tipologi morfologis bahasa yakni: (1) analytic languages (yang juga disebut isolating), (2) agglutinating languages (juga disebut agglutinative), (3) inflecting languages (juga disebut synthetic atau fusional), (4) incorporating languages (juga disebut polysynthetic), dan (5) infixing languages (Katamba, 1993:56).
Begitu juga halnya dengan model teoretis Halle dan Aronoff tentang proses pembentukan kata. Walaupun secara terpisah untuk menjelaskan fenomena pembentukan kata bahasa Inggris kedua model teoretis tersebut cukup memadai namun sejumlah konsep komponen-komponen yang diajukan dalam model ini (khususnya DM dan KPK) masih mengundang diskusi atau pertanyaan dan masih menyisakan kasus-kasus yang tidak bisa dijelaskan dan memerlukan perpaduan dan penyesuaian model kalau hendak diaplikasikan pada studi kasus atau korpus data tertentu.

2          Bahasan
Salah satu ciri bahasa tipe aglutinasi adalah pembentukan kata lebih banyak melalui proses afiksasi. Imbuhan (afiks) dapat melekat pada awal bentuk dasar (prefikasi), di tengah bentuk dasar (infiksasi), di akhir bentuk dasar (sufiksasi), atau prefiks dan sufiks melekat secara serempak pada bentuk dasar (konfiksasi). Pembentukan kata melalui proses afiksasi juga terdapat dalam bahasa Jawa untuk membentuk kata baru di samping proses reduplikasi dan pemajemukan. Fenomena afiksasi dalam bahasa Jawa dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini.

1
Kraton
Medang
Kamulan
 n-duwe-ni
raja


 
keraton 
Medang  
Kamulan
PREF-punya-SUF
raja


‘keraton Medang Kamulan mempunyai raja


2
saben
Dina
n-jaluk
Jatah
manungsa


Setiap
Hari
PREF-minta
Jatah
Manusia

















’Setiap hari meminta jatah manusia’
3
wong
tuwa   
kang
lagi
ng-ungsi
ing
dusun  
orang

‘orang

tua

tua yang

yang

sedang

sedang

mengungsi

PREF-ungsi

di desa’

di


desa



4
Aji
Saka

ng-adep
Raja


Aji
Saka

PREF-hadap
raja 





















‘Aji Saka menghadap Raja.’

Aji
5
Saka

ng-atur-ke
pep-ingin-ane

Aji
Saka

AFF-beri-SUF
AFF-ingin-POSS

‘Aji Saka menyampaikan keinginannya.’
6
 
Prabu
ng-ukur
Siti
Raja
PREF-ukur
Tanah
‘Sang Raja mengukur tanah’

7
Mesthi
bae
t-um-indhak
kang
kaya
iku


Tentu
saja
INF-tindak
yang
seperti
itu


‘tentu saja tindakan yang seperti itu’











Afiksasi yang tercermin pada beberapa contoh di atas memperlihatkan fenomena yang berbeda-beda sebagai berikut:
(1)      bentuk nduweni ‘mempunyai’ terjadi melalui proses afiksasi n-/-ni dan bentuk dasar duwe ‘punya’,
(2)      bentuk njaluk ‘minta’ terjadi melalui proses prefiksasi n- dan bentuk dasar jaluk,
(3)      bentuk ngungsi ‘mengungsi’ terjadi melalui proses prefiksasi ng- dan bentuk dasar ungsi ‘ungsi’,
(4)      bentuk ngadep ‘menghadap’ terjadi melalui proses prefiksasi ng- dan bentuk dasar adep ‘hadap’,
(5)      bentuk ngaturake ‘menyampaikan’ terjadi melalui proses afiksasi ng-/-ake dari bentuk dasar atur ‘sampai’,
(6)      bentuk ngukur ‘mengukur’ terjadi melalui proses prefiksasi ng- dan bentuk dasar ukur ‘ukur’,
(7)      bentuk tumindhak bertindak’ terjadi melalui proses infiksasi t-um- dan bentuk dasar tindhak ‘tindak’.
Berdasarkan contoh kalimat di atas, bahasa Jawa juga mengalami afiksasi. Kaidah pembentukan kata (KPK) mengatur perpaduan antar morfem untuk membentuk kata secara aktual maupun potensial. Dalam hal ini, tentu penutur asli bahasa Jawa memiliki intuisi kebahasaan apakah pembentukan kata secara semantis berterima atau tidak dan secara morfologis merupakan kata-kata potensial.
Asumsi dasar Halle (1973) adalah bahwa secara normal penutur bahasa di samping memiliki pengetahuan tentang kata juga paham tentang komposisi dan struktur kata tersebut. Dengan kata lain penutur asli dari suatu bahasa mempunyai kemampuan untuk mengenal kata-kata dalam bahasanya, bagaimana kata itu terbentuk dan sekaligus bisa membedakan bahwa suatu kata tidak ada dalam bahasanya.
Tatabahasa merupakan perwujudan formal mengenai apa yang semestinya dipahami penutur suatu bahasa. Menurut model teoretis Halle morfologi terdiri dari tiga komponen:

1.   List of Morpheme yakni Daftar Morfem selanjutnya disingkat dengan DM,
2. Word Formation Rules atau Kaedah Pembentukan Kata yang selanjutnya disingkat KPK, dan
3.   Filter atau saringan.
Halle kemudian menambahkan suatu komponen lagi yakni dictionary (kamus) sebagai tempat menyimpan morfem yang telah lolos dari KPK dan Saringan. Dalam komponen DM bisa diketemukan dua macam anggota yakni akar kata dan berbagai macam afiks baik yang bersifat infleksional maupun derivasional yang disertai dengan rentetan segmen fonetik dengan beberapa keterangan gramatikal yang relevan.
Komponen KPK menentukan bagaimana bentuk-bentuk yang ada dalam DM tersebut diatur. Dalam kaitan ini tugas KPK membentuk kata dari morfem-morfem yang berasal dari DM. KPK bersama-sama dengan DM menentukan kata yang bena-benar kata atau bentuk potensial dalam bahasa yakni satuan lingual yang belum ada dalam realitas tetapi mungkin akan ada karena memenuhi persyaratan. Dengan kata lain KPK bisa menghasilkan bentuk-bentuk yang memang merupakan kata serta bentuk-bentuk lain yang sebenarnya memenuhi segala persyaratan untuk menjadi kata tetapi nyatanya tidak terdapat dalam bahasa tersebut.
Kamus tempat menyimpan bentuk-bentuk yang lolos dari saringan sedangkan bentuk yang tidak berterima tertahan di saringan, Walaupun Halle tidak menganggap kamus sebagai komponen morfologi namun dari uraiannya nampak jelas kamus ini merupakan unit yang sama penting dengan ketiga komponen sebelumnya.




Secara diagramatik, Dardjowijojo (1988:36) mempresentasikan model Halle sebagai berikut:
   



DAFTAR MORFEM

KAIDAH PEMBENTUKAN KATA

SARINGAN/FILTER
 KELUARAN
KAMUS

FONOLOGI


                                                                        SINTAKSIS
 
          
 




Meskipun Halle mencantumkan kamus dalam diagramnya, ia tidak menganggap bahwa kamus merupakan bagian integral dari morfologi generatif. Kamus memiliki peranan dalam pembentukan kata karena APK dapat memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam kamus. Di samping itu, kamus juga menampung bentuk-bentuk yang lolos saringan (idiosinkresi). Bentuk-bentuk potensial menurut Halle tidak dimasukkan dalam kamus. Bentuk-bentuk potensial dalam pembahasan ini diberi tanda (*).
Pendapat Aronoff (1976:39) tentang morfologi generatif tertuang dalam tulisannya yang berjudul Word Formation in Generative Grammar. Dalam pembentukan kata (WFR’S). Aronoff berpendapat bahwa kata adalah bentuk minimal yang dipakai sebagai landasan penurunan kata. Hal ini, sangat berbeda dengan Halle yang menganggap bahwa morfem sebagai bentuk minimal penurunan kata.
Pembentukan kata (word formation) menurut Aronoff dilakukan dengan jalan memanfaatkan leksikon yang ada dalam kamus dengan APK. Kamus membuat leksikon yang memiliki informasi kategorial (nominal, verba, adjektiva, dll), sedangkan APK hanya memuat afiks yang hanya memiliki informasi relasional. Artinya, afiks itu memiliki kemampuan untuk bergabung dengan bentuk.

Berdasarkan unsur pembentukan kata pada contoh kalimat di atas dapat diformulasikan dalam tabel daftar morfem berikut:

Tabel 1: Pembentukan Kata Bahasa Jawa
Morfem Bebas
Morfem Terikat
Kaidah Pembentukan Kata
Saringan
Potensial
Kamus
duwe
‘punya’ 
n-i
nduweni
‘mempunyai’
afiksasi 
+
+
+
jaluk
‘minta’
n-
njaluk
‘meminta’
prefiksasi 
+
+
+
ungsi
‘ungsi’
ng-
ngungsi
‘mengungsi’
prefiksasi 
+
+
+
adep
‘hadap’
ng-
ngadep
‘menghadap’
prefiksasi 
+
+
+
atur
‘sampai’
ng-ake
ngaturake
‘menyampaikan’
afiksasi 
+
+
+
ukur
‘ukur’
ng-
ngukur
‘mengukur’
prefiksasi 
+
+
+
tindhak
‘tindak’
-um-
tumindhak
‘bertindak’
infiksasi 
+
+
+
           
            Tabel 1 menunjukkan bahwa bentukan kata dalam bahasa Jawa mengalami proses morfologis melalui afiksasi, prefiksasi, dan infiksasi namun jika diamati dengan cermat dapat disimpulkan bahwa bentuk kata-kata yang memenuhi persyaratan kaidah pembentukan kata (KPK) mengalami idiosinkresi fonologis sebelum masuk kamus, misalnya proses bentukan kata nduweni ‘mempunyai’ terjadi melalui proses afiksasi n-ni. Secara fonologis morfem terikat n dan ni hanya bisa digabungkan dengan morfem bebas yang berawalan dengan konsonan. Sedangkan ng hanya bisa digabungkan dengan morfem bebas yang berawalan dengan vokal.

            Tabel 2: Pembentukan Kata Bahasa Jawa
Morfem Bebas
Morfem Terikat
Kaidah Pembentukan Kata
Saringan
Potensial
Kamus
jaluk
‘minta’
n-i
njaluki
‘minta-minta’
afiksasi 
+
+
+
ungsi
‘ungsi’
ng-i
ngungsii*
afiksasi 
-
+
-
adep
‘hadap’
ng-i
ngadepi
‘menghadapi’
afiksasi 
+
+
+
atur
‘sampai’
ng-i
ngaturi
‘menyampaikan’
afiksasi 
+
+
+
ukur
‘ukur’
ng-i
ngukuri
‘mengukur’
afiksasi   
+
+
+
tindhak
‘tindak’
-um-
tumindhak
‘bertindak’
infiksasi 
+
+
+
    

  
Morfem Bebas
Morfem Terikat
Kaidah Pembentukan Kata
Saringan
Potensial
Kamus
umpet     
‘sembunyi’
ng-i
ngumpeti* 

afiksasi 
-
+
-
akeh  
‘banyak’
ng-i
ngakehi
‘memperbanyak’
afiksasi 
+
+
+
dawuh
‘suruh’
n-i
ndawuhi
‘menyuruh’
afiksasi 
+
+
+
demok
‘pegang’
n-i
ndemoki
‘memegangi’
afiksasi 
+
+
+
dumeh
‘bangga’
n-i
ndumehi*
‘membanggakan’
afiksasi   
-
+
-
timbang
‘timbang’
-um-
tumimbang*
infiksasi 
-
+
-

Tabel 2 menunjukkan adanya beberapa pembentukan kata dalam bahasa Jawa yang lebih bervariasi jika dibanding dengan pembentukan kata yang terdapat pada    tabel 1. Secara morfologis maupun fonologis, kata-kata tersebut sebenarnya termasuk dalam kata-kata potensial namun secara semantis, kata-kata hasil bentukan secara morfologis tersebut tidak masuk dalam saringan (filterisasi) sehingga secara otomatis kata-kata itu tidak masuk dalam kamus bahasa Jawa.   
5. Penutup
Berdasarkan pembahasan sederhana dan sebagian kecil tentang kaidah pembentukan kata dalam bahasa Jawa dapat disimpulkan bahwa bahasa jawa juga mengalami proses morfologis layaknya bahasa lain yang meliputi proses afiksasi, prefiksasi, dan infiksasi.
Beberapa bentukan kata-kata secara morfologis bersifat potensial namun tidak selamanya secara semantis dapat berterima karena tidak lazim digunakan dalam tuturan oleh penutur asli bahasa Jawa sehingga dalam idiosinkresi tidak lolos (filterisasi) ke dalam kamus bahasa Jawa.

 
DAFTAR PUSTAKA

Aronoff, Mark. 1976. Word Formation in Generative Grammer. Cambridge: Massachusets Institute of Technology, The MIT Press.

Bauer, Laurie. 1988. Introducing Linguistic Morphology. Edinburgh University Press.1983. English Word Formation. Cambridge: Cambridge University Press.

Bybee. Joan. 1985. Morphology: A Study of The Relation Between Meaning and Form. Amsterdam Philadelphia: John Benyamin Publishing Company.

Chomsky, Noam. 1970. “Remarks on Nominalization” dalam Chomsky, Studies on Semantics in Generative Grammer. Mouton : The Haque.

Dardjowidjojo, Soenjono. 1988. “Morfologi Generatif : Teori dan Permasalahannya” dalam Peliba I, Soejono (Peny.). Jakarta : Lembaga Bahasa Atma Jaya.

Halle, Moris. 1973. “Prolegomena to a Theory of Word Formation” dalam Linguistic Inquiry, Vol. IV No.1.

Katamba, F.1993. Morphology. London: Macmilland Press,LTD.
  
Scalise, Sergio. 1984. Generative Morphology. Dordrecht Holland/Cinnaminsion-USA : Foris Publication.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar