ABSTRACT
Word formation is a very interesting morphological
phenomenon to be analyzed, especially affixation in Javanese language that so
far its discussion has very limited and traditional descriptive. Therefore, it
needs a more sophisticated theoretical model, such as the theory of generative
morphology developed by Morris Halle (1973), Aronoff (1976), Scalise (1984),
and Dardjowidjoyo (1988) in the approach to the study of word formation
resulting in order to conclude more comprehensive description.
The basic theory of generative morphology is the formation
of more words through affixation process called agglutination-type languages, including Javanese language. Word formation through
affixation process forms new words in addition to reduplication and compounding
processes.
Based on analysis, the affixation process in Javanese
language is in accordance with the rule of the word formation (KPK) that
regulates agglutination among morphemes to form the actual and potential words.
Potential word formation is classified as lingual unit that does not exist in
reality but might exist due to meet the requirements. Word formation rule that
meets all the requirements and the fact, they are not existed in the language have
not been ouput from the filter to be words written in the dictionary.
Key
words: generative morphology, word formation
rule, affixation
ABSTRAK
Pembentukan
kata merupakan sebuah fenomena morfologis yang sangat menarik untuk dikaji,
khususnya afiksasi dalam bahasa Jawa yang selama ini jangkauan pembahasannya
sangat terbatas dan bersifat deskriptif tradisional. Untuk itu perlu suatu
model teoritis yang lebih mutakhir, seperti teori morfologi generatif yang
dikembangkan oleh Moris Halle (1973), Aronoff (1976), Scalise (1984), dan
Dardjowidjoyo (1988) dalam pendekatan terhadap kajian pembentukan kata sehingga
menghasilkan pemerian yang lebih komprehensif.
Teori
dasar morfologi generatif adalah pembentukan kata lebih banyak melalui proses
afiksasi yang disebut bahasa yang bertipe aglutinasi, termasuk bahasa Jawa.
Pembentukan kata melalui proses afiksasi itu menghasilkan kata baru disamping
proses reduplikasi dan pemajemukan.
Berdasarkan
analisis, proses afiksasi dalam bahasa Jawa sesuai dengan kaidah pembentukan
kata (KPK) yang mengatur perpaduan antar morfem untuk membentuk kata secara
aktual dan potensial. Pembentukan kata secara potensial dikategorikan sebagai
satuan lingual yang belum ada dalam realitas namun mungkin akan ada karena
memenuhi persyaratan. Kaidah pembentukan yang memenuhi segala persyaratan dan
kenyataannya belum terdapat dalam bahasa tersebut belum lolos dari saringan
untuk kata-kata yang disimpan dalam kamus.
Kata kunci: morfologi generatif, kaidah pembentukan kata,
afiksasi
1 Pendahuluan
Proses
morfologis termasuk dalam bidang analisis linguistik. Pada awalnya analisis
linguistik ini didasarkan pada pemisahan tataran dan diidealkan sebagai suatu
studi yang mengacu pada seleksi suatu dimensi struktur bahasa yang secara
formal berhubungan dengan tingkatan linguistik mulai dari fonologi, morfologi,
sintaksis dan semantik.
Dalam tataran ini morfologi
merupakan ilmu yang mempelajari struktur kata. Dengan berkembangnya aliran
strukturalis dan generatif pemisahan tataran dalam analisis memudar dan
selanjutnya berkembang ke arah doktrin keterkaitan tataran pada suatu fokus
analisis (Katamba, 1993: 3-16). Oleh karena itu analisis morfologis yang
berhubungan dengan tataran lain seperti fonologi, sintaksis dan semantik
memungkinkan adanya kajian proses morfologis yang lebih komprehensif.
Katamba (1993:19) menyatakan bahwa morfologi adalah studi tentang
strukur kata sedangkan (lihat Nida 1949) menganggap morfologi sebagai studi
tentang morfem dan distribusinya dalam pembentukan kata. Dalam International
Encyclopedia of Linguistiucs (1992) disebutkan bahwa secara tradisional
jangkauan Morfologi mencakup: (1) inflectional morphology yang
mempelajari bagaimana kata bervariasi dalam mengungkapkan perbedaan gramatikal
dalam suatu kalimat, dan (2) derivational morphology yang mempelajari prinsip-prinsip
yang mengatur pembentukan kata tanpa mengacu pada peran gramatikal tertentu
dalam sebuah kalimat. Dalam model Bauer (1983) Morfologi mencakup inflection
dan word formation yang selanjutnya word formation tersebut
bisa dibedakan menjadi (a) derivation dan (b) composition
(compounding)
Pembentukan verba kausatif (selanjutnya disebut VK) dalam
bahasa Inggris misalnya, merupakan sebuah fenomena morfologis yang cukup
menarik untuk dikaji. Sepanjang pengamatan penulis walupun pembicaraan mengenai
VK pada umumnya dan proses pembentukan verba tersebut pada khususnya bisa
dijumpai dalam berbagai pustaka tatabahasa Jawa namun jangkauan pembicaraan
sangat terbatas dan bersifat deskriptif tradisional. Untuk itu perlu suatu
model teoretis yang lebih mutakhir (seperti Morfologi Generatif) dalam
pendekatan terhadap kajian VK sehingga menghasilkan pemerian yang lebih
komprehensif.
Perhatian para linguis terhadap
teori morfologi generatif mulai berkat ajakan Chomsky (1970) melalui tulisannya
yang berjudul “Remarks on Nominalisation”. Dalam tulisannya itu ia memaparkan
betapa pentingnya bidang morfologi terutama proses pembentukan kata yang
ditinjau dari teori transformasi.
Dardjowijojo
(1988:32) mencatat bahwa orang yang pertama kali menaruh minat yang serius
terhadap morfologi generatif adalah Morris Halle dalam papernya yang berjudul
“Morphology in a Generative Grammar” yang disajikan pada Congress of Linguists
di Bologna tahun 1972. Tahun berikutnya karya tersebut diterbitkan dengan judul
“Prolegomena to a Theory of Word Formation”. Tulisan Halle memberikan dampak
yang sangat kuat dan diikuti oleh ahli-ahli lain seperti Siegel (1974). Botha
(1974), Boas (1974), Lipka (1975) dalam bentuk artikel dan oleh Aronoff (1976)
serta Scalise (1984) dalam bentuk buku. Secara umum dapat diidentifikasi bahwa
di kalangan kelompok orang-orang yang menekuni bidang morfologi generatif,
terdapat dua pandangan. Kelompok pertama dipelopori oleh Halle yang berpijak
pada asumsi bahwa yang menjadi dasar dari semua derivasi adalah morfem (morpheme-based
approach); kelompok yang kedua dipelopori oleh Aronoff yang memakai kata
dan bukan morfem sebagai dasar (word-based approach) Dardjowijojo
(1988:33).
Berbagai
konsep dan model teoretis muthakhir perlu diujicobakan atau diaplikasikan pada
studi kasus dalam berbagai bahasa sehingga keunggluan dan kelemahan teori
tersebut bisa diidentifikasi serta selanjutnya bisa dipakai mengungkap atau
mengkaji fenomena linguistik khususnya dalam bidang morfologi suatu bahasa
secara lebih tuntas, termasuk bahasa Jawa.
Walaupun kita bisa memahami keuniversalan bahasa, namun
bahasa juga bersifat arbitrer dan sampai batas-batas tertentu setiap bahasa
memiliki keunikan tersendiri yang tidak dimiliki oleh bahasa lain. Setiap
bahasa, termasuk bahasa Jawa juga memiliki kemiripan dan perbedaan dengan
bahasa lain dalam cara bagaimana membentuk kata. Atas dasar pola tipikal
pembentukan kata inilah para linguis membedakan 5 tipologi morfologis bahasa
yakni: (1) analytic languages (yang juga disebut isolating), (2)
agglutinating languages (juga disebut agglutinative), (3) inflecting
languages (juga disebut synthetic atau fusional), (4) incorporating
languages (juga disebut polysynthetic), dan (5) infixing
languages (Katamba, 1993:56).
Begitu juga halnya dengan model teoretis Halle dan Aronoff
tentang proses pembentukan kata. Walaupun secara terpisah untuk menjelaskan
fenomena pembentukan kata bahasa Inggris kedua model teoretis tersebut cukup
memadai namun sejumlah konsep komponen-komponen yang diajukan dalam model ini
(khususnya DM dan KPK) masih mengundang diskusi atau pertanyaan dan masih
menyisakan kasus-kasus yang tidak bisa dijelaskan dan memerlukan perpaduan dan
penyesuaian model kalau hendak diaplikasikan pada studi kasus atau korpus data
tertentu.
2 Bahasan
Salah satu
ciri bahasa tipe aglutinasi adalah pembentukan kata lebih banyak melalui proses
afiksasi. Imbuhan (afiks) dapat melekat pada awal bentuk dasar (prefikasi), di
tengah bentuk dasar (infiksasi), di akhir bentuk dasar (sufiksasi), atau prefiks
dan sufiks melekat secara serempak pada bentuk dasar (konfiksasi). Pembentukan
kata melalui proses afiksasi juga terdapat dalam bahasa Jawa untuk membentuk
kata baru di samping proses reduplikasi dan pemajemukan. Fenomena afiksasi
dalam bahasa Jawa dapat dilihat pada contoh-contoh berikut ini.
|
Kraton
|
Medang
|
Kamulan
|
n-duwe-ni
|
raja
|
|
|||||||||
|
keraton
|
Medang
|
Kamulan
|
PREF-punya-SUF
|
raja
|
|
|||||||||
‘keraton Medang Kamulan mempunyai raja
|
|||||||||||||||
|
Dina
|
n-jaluk
|
Jatah
|
manungsa
|
|
|
|||||||||
Setiap
|
Hari
|
PREF-minta
|
Jatah
|
Manusia
|
|
|
|||||||||
’Setiap hari meminta jatah manusia’
|
tuwa
|
kang
|
lagi
|
ng-ungsi
|
ing
|
dusun
|
|||||||||||||
orang
‘orang
|
tua
tua yang
|
yang
sedang
|
sedang
mengungsi
|
PREF-ungsi
di desa’
|
di
|
desa
|
|||||||||||||
|
Saka
|
|
ng-adep
|
Raja
|
|
||||||||||||||
Aji
|
Saka
|
|
PREF-hadap
|
raja
|
|
||||||||||||||
‘Aji Saka menghadap
Raja.’
Aji
|
Saka
|
|
ng-atur-ke
|
pep-ingin-ane
|
|
|
Aji
|
Saka
|
|
AFF-beri-SUF
|
AFF-ingin-POSS
|
|
‘Aji
Saka menyampaikan
keinginannya.’
6
|
Prabu
|
ng-ukur
|
Siti
|
Raja
|
PREF-ukur
|
Tanah
|
‘Sang Raja mengukur tanah’
|
Mesthi
|
bae
|
t-um-indhak
|
kang
|
kaya
|
iku
|
|||
|
Tentu
|
saja
|
INF-tindak
|
yang
|
seperti
|
itu
|
|||
‘tentu saja tindakan yang seperti itu’
|
|
||||||||
Afiksasi
yang tercermin pada beberapa contoh di atas memperlihatkan fenomena yang
berbeda-beda sebagai berikut:
(1) bentuk nduweni ‘mempunyai’ terjadi melalui proses afiksasi n-/-ni
dan bentuk dasar duwe ‘punya’,
(2) bentuk njaluk
‘minta’ terjadi melalui proses prefiksasi n-
dan bentuk dasar jaluk,
(3) bentuk ngungsi ‘mengungsi’
terjadi melalui proses prefiksasi ng- dan
bentuk dasar ungsi ‘ungsi’,
(4) bentuk ngadep ‘menghadap’
terjadi melalui proses prefiksasi ng- dan
bentuk dasar adep ‘hadap’,
(5) bentuk ngaturake ‘menyampaikan’
terjadi melalui proses afiksasi ng-/-ake dari
bentuk dasar atur ‘sampai’,
(6) bentuk ngukur ‘mengukur’
terjadi melalui proses prefiksasi ng- dan
bentuk dasar ukur ‘ukur’,
(7) bentuk tumindhak ‘bertindak’ terjadi melalui proses
infiksasi t-um- dan bentuk dasar tindhak ‘tindak’.
Berdasarkan
contoh kalimat di atas, bahasa Jawa juga mengalami afiksasi. Kaidah pembentukan
kata (KPK) mengatur perpaduan antar morfem untuk membentuk kata secara aktual
maupun potensial. Dalam hal ini, tentu penutur asli bahasa Jawa memiliki
intuisi kebahasaan apakah pembentukan kata secara semantis berterima atau tidak
dan secara morfologis merupakan kata-kata potensial.
Asumsi
dasar Halle (1973) adalah bahwa secara normal penutur bahasa di samping
memiliki pengetahuan tentang kata juga paham tentang komposisi dan struktur
kata tersebut. Dengan kata lain penutur asli dari suatu bahasa mempunyai
kemampuan untuk mengenal kata-kata dalam bahasanya, bagaimana kata itu
terbentuk dan sekaligus bisa membedakan bahwa suatu kata tidak ada dalam
bahasanya.
Tatabahasa merupakan perwujudan formal mengenai apa yang
semestinya dipahami penutur suatu bahasa. Menurut model teoretis Halle
morfologi terdiri dari tiga komponen:
1. List of Morpheme
yakni Daftar Morfem selanjutnya disingkat dengan DM,
2. Word Formation Rules atau Kaedah Pembentukan Kata
yang selanjutnya disingkat KPK, dan
3. Filter atau
saringan.
Halle kemudian menambahkan suatu komponen lagi yakni dictionary
(kamus) sebagai tempat menyimpan morfem yang telah lolos dari KPK dan
Saringan. Dalam
komponen DM bisa diketemukan dua macam anggota yakni akar kata dan berbagai
macam afiks baik yang bersifat infleksional maupun derivasional yang disertai
dengan rentetan segmen fonetik dengan beberapa keterangan gramatikal yang
relevan.
Komponen
KPK menentukan bagaimana bentuk-bentuk yang ada dalam DM tersebut diatur. Dalam
kaitan ini tugas KPK membentuk kata dari morfem-morfem yang berasal dari DM.
KPK bersama-sama dengan DM menentukan kata yang bena-benar kata atau bentuk
potensial dalam bahasa yakni satuan lingual yang belum ada dalam realitas
tetapi mungkin akan ada karena memenuhi persyaratan. Dengan kata lain KPK bisa
menghasilkan bentuk-bentuk yang memang merupakan kata serta bentuk-bentuk lain
yang sebenarnya memenuhi segala persyaratan untuk menjadi kata tetapi nyatanya
tidak terdapat dalam bahasa tersebut.
Kamus
tempat menyimpan bentuk-bentuk yang lolos dari saringan sedangkan bentuk yang
tidak berterima tertahan di saringan, Walaupun Halle tidak menganggap kamus
sebagai komponen morfologi namun dari uraiannya nampak jelas kamus ini
merupakan unit yang sama penting dengan ketiga komponen sebelumnya.
Secara diagramatik,
Dardjowijojo (1988:36) mempresentasikan model Halle sebagai berikut:
DAFTAR MORFEM
|
KAIDAH PEMBENTUKAN KATA
|
SARINGAN/ FILTER
|
KAMUS
|
FONOLOGI
|
SINTAKSIS
|
KELUARAN
Meskipun Halle
mencantumkan kamus dalam diagramnya, ia tidak menganggap bahwa kamus merupakan
bagian integral dari morfologi generatif. Kamus memiliki peranan dalam
pembentukan kata karena APK dapat memanfaatkan leksikon yang tersimpan dalam
kamus. Di samping itu, kamus juga menampung bentuk-bentuk yang lolos saringan
(idiosinkresi). Bentuk-bentuk potensial menurut Halle tidak dimasukkan dalam
kamus. Bentuk-bentuk potensial dalam pembahasan ini diberi tanda (*).
Pendapat Aronoff
(1976:39) tentang morfologi generatif tertuang dalam tulisannya yang berjudul Word
Formation in Generative Grammar. Dalam pembentukan kata (WFR’S). Aronoff
berpendapat bahwa kata adalah bentuk minimal yang dipakai sebagai landasan
penurunan kata. Hal ini, sangat berbeda dengan Halle yang menganggap bahwa
morfem sebagai bentuk minimal penurunan kata.
Pembentukan kata (word
formation) menurut Aronoff dilakukan dengan jalan memanfaatkan leksikon yang
ada dalam kamus dengan APK. Kamus membuat leksikon yang memiliki informasi
kategorial (nominal, verba, adjektiva, dll), sedangkan APK hanya memuat afiks
yang hanya memiliki informasi relasional. Artinya, afiks itu memiliki kemampuan
untuk bergabung dengan bentuk.
Berdasarkan unsur
pembentukan kata pada contoh kalimat di atas dapat diformulasikan dalam tabel
daftar morfem berikut:
Tabel 1:
Pembentukan Kata Bahasa Jawa
Morfem
Bebas
|
Morfem
Terikat
|
Kaidah
Pembentukan Kata
|
Saringan
|
Potensial
|
Kamus
|
duwe
‘punya’
|
n-i
nduweni
‘mempunyai’
|
afiksasi
|
+
|
+
|
+
|
jaluk
‘minta’
|
n-
njaluk
‘meminta’
|
prefiksasi
|
+
|
+
|
+
|
ungsi
‘ungsi’
|
ng-
ngungsi
‘mengungsi’
|
prefiksasi
|
+
|
+
|
+
|
adep
‘hadap’
|
ng-
ngadep
‘menghadap’
|
prefiksasi
|
+
|
+
|
+
|
atur
‘sampai’
|
ng-ake
ngaturake
‘menyampaikan’
|
afiksasi
|
+
|
+
|
+
|
ukur
‘ukur’
|
ng-
ngukur
‘mengukur’
|
prefiksasi
|
+
|
+
|
+
|
tindhak
‘tindak’
|
-um-
tumindhak
‘bertindak’
|
infiksasi
|
+
|
+
|
+
|
Tabel
1 menunjukkan bahwa bentukan kata dalam bahasa Jawa mengalami proses morfologis
melalui afiksasi, prefiksasi, dan infiksasi namun jika diamati dengan cermat
dapat disimpulkan bahwa bentuk kata-kata yang memenuhi persyaratan kaidah
pembentukan kata (KPK) mengalami idiosinkresi fonologis sebelum masuk kamus,
misalnya proses bentukan kata nduweni ‘mempunyai’
terjadi melalui proses afiksasi n-ni.
Secara fonologis morfem terikat n dan
ni hanya bisa digabungkan dengan
morfem bebas yang berawalan dengan konsonan. Sedangkan ng hanya bisa digabungkan dengan morfem bebas yang berawalan dengan
vokal.
Tabel
2: Pembentukan Kata Bahasa Jawa
Morfem
Bebas
|
Morfem
Terikat
|
Kaidah
Pembentukan Kata
|
Saringan
|
Potensial
|
Kamus
|
jaluk
‘minta’
|
n-i
njaluki
‘minta-minta’
|
afiksasi
|
+
|
+
|
+
|
ungsi
‘ungsi’
|
ng-i
ngungsii*
|
afiksasi
|
-
|
+
|
-
|
adep
‘hadap’
|
ng-i
ngadepi
‘menghadapi’
|
afiksasi
|
+
|
+
|
+
|
atur
‘sampai’
|
ng-i
ngaturi
‘menyampaikan’
|
afiksasi
|
+
|
+
|
+
|
ukur
‘ukur’
|
ng-i
ngukuri
‘mengukur’
|
afiksasi
|
+
|
+
|
+
|
tindhak
‘tindak’
|
-um-
tumindhak
‘bertindak’
|
infiksasi
|
+
|
+
|
+
|
Morfem
Bebas
|
Morfem
Terikat
|
Kaidah
Pembentukan Kata
|
Saringan
|
Potensial
|
Kamus
|
umpet
‘sembunyi’
|
ng-i
ngumpeti*
|
afiksasi
|
-
|
+
|
-
|
akeh
‘banyak’
|
ng-i
ngakehi
‘memperbanyak’
|
afiksasi
|
+
|
+
|
+
|
dawuh
‘suruh’
|
n-i
ndawuhi
‘menyuruh’
|
afiksasi
|
+
|
+
|
+
|
demok
‘pegang’
|
n-i
ndemoki
‘memegangi’
|
afiksasi
|
+
|
+
|
+
|
dumeh
‘bangga’
|
n-i
ndumehi*
‘membanggakan’
|
afiksasi
|
-
|
+
|
-
|
timbang
‘timbang’
|
-um-
tumimbang*
|
infiksasi
|
-
|
+
|
-
|
Tabel 2 menunjukkan adanya
beberapa pembentukan kata dalam bahasa Jawa yang lebih bervariasi jika dibanding
dengan pembentukan kata yang terdapat pada tabel 1. Secara morfologis maupun fonologis,
kata-kata tersebut sebenarnya termasuk dalam kata-kata potensial namun secara
semantis, kata-kata hasil bentukan secara morfologis tersebut tidak masuk dalam
saringan (filterisasi) sehingga secara otomatis kata-kata itu tidak masuk dalam
kamus bahasa Jawa.
5. Penutup
Berdasarkan pembahasan
sederhana dan sebagian kecil tentang kaidah pembentukan kata dalam bahasa Jawa
dapat disimpulkan bahwa bahasa jawa juga mengalami proses morfologis layaknya
bahasa lain yang meliputi proses afiksasi, prefiksasi, dan infiksasi.
Beberapa bentukan
kata-kata secara morfologis bersifat potensial namun tidak selamanya secara
semantis dapat berterima karena tidak lazim digunakan dalam tuturan oleh
penutur asli bahasa Jawa sehingga dalam idiosinkresi tidak lolos (filterisasi)
ke dalam kamus bahasa Jawa.
DAFTAR
PUSTAKA
Aronoff,
Mark. 1976. Word Formation in Generative Grammer. Cambridge:
Massachusets Institute of Technology, The MIT Press.
Bauer,
Laurie. 1988. Introducing Linguistic Morphology. Edinburgh University
Press.1983. English Word Formation. Cambridge: Cambridge University
Press.
Bybee.
Joan. 1985. Morphology: A Study of The Relation Between Meaning and Form.
Amsterdam Philadelphia: John Benyamin Publishing Company.
Chomsky,
Noam. 1970. “Remarks on Nominalization” dalam Chomsky, Studies on Semantics
in Generative Grammer. Mouton : The Haque.
Dardjowidjojo,
Soenjono. 1988. “Morfologi Generatif : Teori dan Permasalahannya” dalam Peliba
I, Soejono (Peny.). Jakarta : Lembaga Bahasa Atma Jaya.
Halle,
Moris. 1973. “Prolegomena to a Theory of Word Formation” dalam Linguistic
Inquiry, Vol. IV No.1.
Katamba, F.1993. Morphology. London: Macmilland Press,LTD.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar