Rabu, 04 Desember 2013

PEMERTAHANAN BAHASA HELONG DI DESA OEMATNUNU, KECAMATAN KUPANG BARAT KABUPATEN KUPANG*)



ABSTRACT

Research on language maintenance related to social factors included in sociolinguistic research. This research aims to describe the language situation in related to the level of language maintenance of Helong in the context of bilingualism and the factors that influence the level of Helong language maintenance in Helong community living in Oematnunu village, West Kupang Sub-district, Kupang regency.
This research study refers to the variable of bilingualism and social factors. Bilingualism variables consisted of variables bilingualism patterns, language attitudes, and the domain of language usage. The social factor variables consist of ages, sexes, education, occupation, population mobility, and homogeneous and heterogeneous residential areas.
Methods and data collection techniques used in this research include: methods of observation or surveys, questionnaires, interviews, focus groups, records, and documentation, and refer-notes technique. To obtain the expected data, respondents are enmeshed in this study of 100 respondents Helong tribe who live in the Oematnunu village and categorized into three groups, namely groups of children, adults, and parents.
Data obtained through these data collection techniques were analyzed using descriptive qualitative-analytic inductive method, in the sense of moving from data analysis to the concept or theory. The results of data analysis presented in the form of descriptions using the words are arranged in a systematic and structured and the tables containing the numbers and percentages according to the scope of the problem and research purposes.
The findings of this research indicate that attitudes, behaviors, and views of language that is not accommodating of the parent group to the next generation resulting in language Helong increasingly displaced by the B2. The use of B2 is increasingly intervening in every domain of language usage negatively affect retention of Helong language, except in the traditional domain shows positive maintenance of Helong.
  
Key words: variabel sosiolinguistik, kedwibahasaan, ketahanan bahasa.




*)  Dipresentasikan dalam Seminar Nasional Bahasa Ibu, Program S2/S3 Linguistik, PPs Unud, Denpasar Tanggal 17--18 Februari 2012.

 I.   PENDAHULUAN
Bahasa Helong adalah bahasa pertama (B1) yang digunakan suku Helong yang bermukim di wilayah ujung barat pulau Timor dekat pelabuhan Tenau, Kota Kupang hingga wilayah Amarasi, dan sebagian besar desa di pulau Semau. Bahasa Helong termasuk salah satu rumpun bahasa Austronesia di Indonesia Timur, khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Bahasa Helong terdiri atas tiga dialek, yakni dialek Helong Pulau, Helong Darat, dan Helong Funai. Komunitas penutur dialek Helong Darat dan Helong Funai bermukim di pulau Timor, sedangkan komunitas Helong Pulau bermukim di pulau Semau (Grimes, 1997: 42).
Mengingat bahasa Helong hidup berdampingan dengan bahasa multisuku yang mempetahankan identitas kesukuannya masing-masing, maka fenomena pergeseran bahasa (language shift) dan kepunahan bahasa (language death) dapat saja terjadi. Hal yang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa adalah jika masyarakat pemakai memilih bahasa baru untuk mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata lain, pergeseran bahasa terjadi karena masyarakat bahasa beralih ke bahasa lain yang dominan dan berprestise, yang digunakan dalam ranah-ranah pemakaian bahasa yang lama.
Dalam konsep pergeseran bahasa, bahasa mengalami pergeseran jika pemakaian antara B1 dan B2 tidak seimbang. Ketika keseimbangan ini tidak ada lagi, maka dua kemungkinan yang akan muncul, yaitu B1 tetap bertahan atau B1 tersingkir oleh B2 yang mengarah pada kepunahan. Menurut Edwards (1985:71-72), salah satu fenomena yang memicu terjadinya pergeseran bahasa disebabkan oleh berkurangnya jumlah penutur usia muda dari bahasa tersebut, karena mereka cenderung menggunakan bahasa lain yang dianggapnya lebih berprestise.
Sebagaimana disinggung di atas, bahasa Helong merupakan salah satu bahasa daerah di kabupaten Kupang sebagai bahasa yang hidup berdampingan dengan BI dan bahasa-bahasa daerah yang lain, tentunya bahasa ini bisa mengalami pergeseran penggunaan oleh penuturnya. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk faktor perkawinan campur, teknologi komunikasi, dan arus perpindahan penduduk. Jika hal itu terjadi, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa bahasa Helong akan mengalami kepunahan.
Berdasarkan gambaran pada latar belakang di atas, maka batasan masalah yang dikaji dalam penelitian ini adalah: Bagaimanakah tingkat pemertahanan bahasa Helong dalam konteks kedwibahasaan pada masyarakat Helong.

 II.         KONSEP DAN TEORI
2.1 Konsep Ketahanan Bahasa
Ketahanan bahasa dapat dikatakan sebagai pembalikan pergeseran bahasa (reversing language shift) Fishman (dalam William, 1991:99). Tersirat dalam bukunya ini, Fishman sangat mengkhawatirkan hilangnya akar identitas masyarakat pendukung suatu bahasa.
Pembalikan arah pergeseran suatu bahasa dapat berhasil dan dapat gagal. Inti pelaksanaan itu adalah meningkatkan kondisi-kondisi sosiolinguistik suatu bahasa yang mengalami keseimbangan negatif pengguna dan penggunaan bahasa itu. Sasaran usaha pembalikan pergeseran menurut teori baru ini adalah adanya kesinambungan B1 antargenerasi.

2.2 Teori Sosiolinguistik
Menurut Holmes (1992: 1) sosiolinguistik merupakan ilmu yang membahas hubungan antara bahasa dengan lingkungan sosialnya. Sosiolinguistik, sesuai namanya, mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu bahasa oleh linguistik dan masyarakat oleh sosiologi (Sumarsono, 1993: 8). Karena itu wajar kalau misalnya sosiolinguistik memanfaatkan teori, hasil kajian, atau metodologi dalam sosiologi, baik secara implisit, termasuk kajian tentang masyarakat Helong.
            Kenyataan memang membuktikan bahwa sosiolinguistik itu pada umumnya mengkaji masyarakat dwibahasa atau anekabahasa. Kedwibahasaan adalah gejala penguasaan bahasa kedua (B2) dengan derajat kemampuan yang sama seperti penutur aslinya (Bloomflied, 1933).

 III.            BAHASAN
Berbicara tentang pemertahanan bahasa, dapat dipastikan bahwa pembahasan yang akan disampaikan menyangkut persoalaan tentang keanekaragaman dalam konteks kedwibahasaan merupakan gejala yang dapat menumbuhkan persaingian antarbahasa sehingga memungkinkan bahasa-bahasa tertentu tidak sanggup bertahan dalam persaingan yang mengakibatkan terjadinya kepunahan bahasa. Bagi peneliti sosiolinguistik, keanekaragaman bahasa yang berkaitan dengan pemertahanan dan kepunahan bahasa merupakan masalah yang menarik untuk dibicarakan, selanjutnya (Sumarsono, 1955:173) membahas pemertahanan erat kaitannya dengan kepunahan bahasa, artinya adanya interaksi bahasa yang menimbulkan adanya upaya pemertahanan. Jika hal tersebut gagal, maka bahasa yang mengalami pergeseran itu secara perlahan-lahan akan mengarah pada kepunahan.
Pembahasan tentang pemertahanan bahasa Helong didasarkan atas ranah-ranah penggunaan bahasa seperti ranah keluarga, ranah pendidikan, ranah adat, ketetanggaan, dan ranah agama.

3.1.1  Pemertahanan Bahasa Helong dalam Ranah Keluarga
Berdasarkan data yang diperoleh dari responden tentang pilihan bahasa yang digunakan dalam ranah rumah tangga mengacu pada keseringan kelompok dewasa dan anak menggunakan bahasa Helong pada ranah keluarga, khususnya dengan anggota keluarga yang lebih tua. Untuk mengetahui tingkat keseringan berbahasa Helong bagi kelompok itu, diperoleh data sebagai berkut.
a.    Kelompok dewasa
Tabel 3.1 Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga antarapenutur kelompok dewasa dengan kakek nenek, bapak-ibu, saudara kandung, dan penghuni lain se rumah (N=29)

Bahasa
Kakek-nenek
Bapak-ibu
Saudara kandung
Penghuni lain
f
%
f
%
f
%
f
%
Bahasa Helong
18
62,07
  9
31,03
2
  6,90
  6
20,69
Bahasa Indonesia
  4
13,79
16
55,17
22
75,86
17
58,62
BH dan BI
  7
24,14
  4
13,79
5
17,24
  6
20,69
Jumlah
29
100
29
100
29
100
29
100
Data pada tabel 3.1 menunjukkan adanya penggunaan bahasa Helong bagi dewasa pada ranah keluarga ketika berkomunikasi dengan kakek-nenek (62,07%), bapak-ibu (31,03%), saudara kandung (6,90%), dan penghuni lain (20,69%). Sedangkan frekuensi keseringan penggunaan bahasa campur (bahasa Helong dan bahasa Indonesia) dalam ranah itu juga dapat dilihat pada tabel, yakni dengan kakek-nenek (24,14%), bapak-ibu (13,79%), saudara kandung (17,24%), dan penghuni lain (20,69%).
Pilihan bahasa yang melibatkan bahasa Helong sebagai bahasa komunikasi dalam ranah keluarga menunjukkan adanya kemampuan dewasa Helong menggunakan bahasa Helong yang tingkat kemampuannya sulit diukur oleh penuturnya. Terlepas dari persoalan yang mengacu pada pengakuan atau jawaban atas pertanyaan di atas, sebagian penutur muda Helong memperlihatkan adanya upaya pemertahanan bahasa Helong positf pada ranah keluarga.
b.      Kelompok anak
Tabel 3.2 Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga antara penutur kelompok Anak dengan kakek-nenek, bapak-ibu, saudara kandung, dan penghuni lain se rumah (N=31)

Bahasa
Kakek-nenek
Bapak-ibu
Saudara kandung
Penghuni lain
f
%
f  
%
f  
%
f
%
Bahasa Helong (BH)
  4
12,90
  2
6,45
 0
   0
1
  3,23
Bahasa Indonesia (BI)
21
67,74
19
61,29
31
100
28
90,32
BH dan BI
  6
19,35
10
32,26
 0
   0
2
 6,45
Jumlah
    31
100
31
100
 31
 100
31
100
Data pada tabel 3.2 menunjukkan adanya penurunan jumlah penutur Helong pada kelompok anak jika dibandingkan dengan kelompok dewasa, yang secara keseluruhan memperlihatkan persentase pada tabel berikut.
Tabel 3.3 Keadaan penggunaan bahasa dalam ranah keluarga
bagi penutur kelompok dewasa dan anak
Anggota keluarga
Penggunaan Bahasa Helong
Selisih
Dewasa
Anak-anak

f
%
f
%
f
%
Kakek-nenek
  18
62,07
4
12,90
14
49,17
Bapak-ibu
9
31,03
2
 6,45
 7
24,58
Saudara kandung
2
 6,90
0
   0
 2
 6,90
Penghuni lain
6
20,69
1
3,23
 5
     17,46
Data pada tabel 3.3 menunjukkan penurunan jumlah penutur dan persentase dalam penggunaan bahasa Helong pada generasi berikutnya, dengan kakek nenek; 49,17 %, dengan bapak-ibu; 24,58 %, dengan saudara kandung; 6,90 %, dan dengan penghuni lain; 17,46 %. Penurunan jumlah penutur Helong generasi berikutnya pada tabel 3.3 terjadi pada semua lawan bicara dalam ranah keluarga. Berdasarkan analisis data di atas, penggunaan bahasa Helong pada ranah keluarga terlihat responden kelompok dewasa masih menggunakan bahasa Helong dengan semua lawan bicara di dalam keluarga, masing-masing; 62,07%, 31,03%, 6,90%, dan 20,69%, begitu juga halnya dengan responden kelompok anak, masing-masing; 12,90%, 6,45%, 0%, dan 3,23%. Masih digunakannya bahasa Helong oleh sebagian penuturnya menunjukkan bahwa bahasa itu masih bertahan.
Kondisi kebahasaan sebagai akibat pengalihan bahasa dari generasi ke generasi berikutnya seperti yang nampak pada tabel itu menunjukkan bahwa dalam ranah keluarga bahasa Helong sedang mengalami pergeseran. Artinya, bahasa Helong masih digunakan oleh penuturnya, yang jika terjadi penurunan terus-menerus dari generasi ke generasi, tidak menutup kemungkinan bahasa Helong punah. Berbicara tentang pergeseran bahasa, faktor kedwibahasaan bukanlah satu-satunya faktor penyebab terjadinya pergeseran bahasa Chaer (2004:142). Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan beberapa faktor penyebab terjadinya pergeseran bahasa yang disebabkan, antara lain, pengaruh faktor perpindahan penduduk, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan. Dari ketiga faktor itu, yang berhubungan dengan fenomena kebahasaan bahasa Helong yang mengarah ini adalah faktor pendidikan.

3.1.2    Pemertahanan Bahasa Helong dalam Ranah Pendidikan
Penggunaan bahasa dalam ranah pendidikan dapat dilihat pada tabel 3.4, disajikan berdasarkan jawaban responden tentang penggunaan bahasa di lingkungan sekolah.
a.          Kelompok dewasa dan anak
Tabel 3.4 Penggunaan bahasa dalam ranah pendidikan antara anak dengan teman sekelas, guru, dan pegawai di sekolah (N=29+31= 60)
Bahasa
Teman se kelas
Guru
Pegawai/pesuruh
F
%
f
%
f
%
Bahasa Helong
  0
   0
  0
   0
  0
   0
Bahasa Indonesia
49
81,67
60
100
60
100
BH dan BI
11
18,33
       0
   0
  0
   0
Jumlah
60
100
60
100
60
100
Data pada tabel 3.4 menggambarkan bahwa dalam ranah pendidikan, responden memilih bahasa Helong untuk berbicara dengan lawan bicara; teman se kelas (0%), guru (0%), dan pegawai/pesuruh (0%); bahasa Indonesia untuk berbicara dengan lawan bicara; teman se kelas (81,67%), guru (100%), dan pegawai/pesuruh (100%); bahasa Helong dan bahasa Indonesia untuk berbicara dengan teman se kelas (18,33%), guru (0%), dan pegawai/pesuruh (0%). Berdasarkan analisis data di atas, dalam ranah pendidikan terjadi pemertahanan bahasa Helong negatif. Walaupun pemertahanan bahasa Helong oleh penutur Helong adalah negatif, kondisi kebahasaan bahasa Helong pada ranah ini masih dianggap bertahan karena penggunaan bahasa Helong antarteman sekelas masih terjadi walaupun campur bahasa Helong dan bahasa Indonesia (18,33%). Kondisi seperti itu menunjukkan bahwa bahasa Helong sedang mengalami proses pergeseran.

3.1.3    Pemertahanan Bahasa Helong dalam Ranah Ketetanggaan
Berdasarkan data yang diperoleh dari responden tentang pilihan bahasa yang digunakan dalam ranah ketetanggaan yang mengacu pada keseringan ketiga kelompok menggunakan bahasa Helong, khususnya dengan anggota tetangga dapat dilihat pada tabel berikut.
a.       Kelompok orang tua: KK dan ibu rumah tangga
Tabel 3.5 Penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok orang tua: KK dan ibu rumah tangga dengan tetangga sebaya, lebih tua, dan lebih muda (N=26+14=40)

Bahasa
Tetangga sebaya
Tetangga lebih tua
Tetangga lebih muda
f
%
f
%
f 
%
Bahasa Helong (BH)
34
85
34
    85
27
67,50
Bahasa Indonesia (BI)
  0
  0
  0
      0
  3
  7,50
BH dan BI
  6
15
  6
    15
10
     25
Jumlah
40
100
40
  100
40
   100

Berdasarkan data pada tabel 3.5, penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggaan bagi kelompok orang tua menunjukkan pemertahanan bahasa Helong positif, yakni dengan tetangga sebaya (85%), tetangga lebih tua (85,%), tetangga lebih muda (67,50%).
b.         Kelompok dewasa
     Tabel 3.6 Penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok 
         dewasa dengan tetangga sebaya, lebih tua, dan lebih muda (N=29)

Bahasa
Tetangga sebaya
Tetangga lebih tua
Tetangga lebih muda
f
%
f
%
f
%
Bahasa Helong (BH)
 7
24,14
24
82,76
0
0
Bahasa Indonesia (BI)
13
44,83
3
10,34
23
79,31
BH dan BI
 9
31,03
2
6,90
 6
20,69
Jumlah
29
100
   29
100
    29
100
Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 3.6), penggunaan bahasa Helong dalam ranah ketetanggaan bagi kelompok dewasa menunjukkan pemertahanan bahasa Helong positif pada interaksi dengan tetangga yang lebih tua (82,76%), sedangkan dengan tetangga sebaya (7,00%) dan tetangga lebih muda (0%) menunjukkan pemertahanan BH negatif.
c.       Kelompok anak
Tabel 3.7 Penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok anak dengan tetangga sebaya, lebih tua, dan lebih muda (N=31)

Bahasa
Tetangga sebaya
Tetangga
lebih tua
Tetangga
lebih muda
f
%
f
%
f
%
Bahasa Helong
  0
    0
 0
    0
 0
0
Bahasa Indonesia
29
93,55
29
93,55
31
  100
BH dan BI
 2
 6,45
  2
 6,45
 0
0
Jumlah
31
100
    31
100
    31
  100

Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 3.7), penggunaan bahasa Helong dalam ranah ketetanggaan bagi kelompok anak menunjukkan pemertahanan bahasa Helong negatif pada interaksi dengan semua tetangga, kecuali bahasa Helong dan bahasa Indonesia.

3.1.4    Pemertahanan Bahasa Helong dalam Ranah Agama
Agama mayoritas penutur Helong adalah Kristen protestan, disamping memiliki peran penting dalam kehidupan sosial masyarakat juga berkaitan erat dengan kondisi kebahasaan bahasa Helong. Dalam kegiatan keagamaan, seperti ibadah di gereja, satu-satunya bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.  
Dalam hubungan dengan ranah agama yang dianut responden, yang rutin mengikuti kegiatan ibadah di gereja menyatakan bahwa selama kegiatan berlangsung, bahasa Indonesia adalah pilihan tunggal, dalam pengertian bahwa selama ibadah berlangsung, pendeta dalam kotbah/ceramahnya menggunakan bahasa Indonesia. Kenyataan itu membuktikan bahwa bahasa Indonesia telah merembes ke ranah ini dan memperlemah upaya pemertahanan bahasa Helong yang menunjukkan bahwa pemertahanan bahasa Helong dalam ranah agama menunjukkan pemertahanan negatif. 
Dalam kaitan dengan pemertahanan bahasa Helong, penelitian mengarah pada pendapat guyup tentang kemungkinan bahasa Helong digunakan untuk ceramah agama, sebagian menyatakan setuju jika bahasa Helong digunakan untuk ceramah di gereja. Untuk mengetahui kesetujuan dan ketidaksetujuan guyup Helong terhadap bahasa Helong yang digunakan untuk ceramah keagamaan mengacu pada jawaban responden pada tabel berikut.
a.          Kelompok orang tua: KK dan ibu rumah tangga
Tabel 3.8 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok orang tua Helong
terhadap penggunaan bahasa Helong untuk ceramah agama (N= 40)
Pernyataan
f
%
Sama sekali tidak setuju
             3
       7,50
Tidak setuju
           19
     47,50
Setuju saja, tidak apa-apa
           16
     40
Tidak menjawab
             2
       5
Jumlah
           40
   100
Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 3.8), untuk mengetahui secara implisit adanya upaya pemertahanan bahasa Helong oleh penutur Helong kelompok orang tua berdasarkan kesetujuan dan ketidaksetujuan penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama, diidentifikasi bahwa pemertahanan bahasa Helong  negatif, yakni sama sekali tidak setuju (7,50%) dan tidak setuju (47,50%).
b.   Kelompok dewasa
Tabel 3.9 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok dewasa Helong
terhadap penggunaan BH untuk ceramah agama (N= 29)
Pernyataan
f
%
Sama sekali tidak setuju
          3
     10,34
Tidak setuju
        13
     44,83
Setuju saja, tidak apa-apa
        12
     41,38
Tidak menjawab
          1
       3,45
Jumlah
        29
  100

Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 3.9), untuk mengetahui secara implisit adanya upaya pemertahanan bahasa Helong oleh penutur Helong kelompok dewasa berdasarkan kesetujuan dan ketidaksetujuan penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama, juga menunjukkan pemertahanan bahasa Helong negatif, yakni; sama sekali tidak setuju (10,34%) dan tidak setuju (44,83%).


c.    Kelompok anak
Tabel 3.10 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok anak Helong
terhadap penggunaan BH untuk ceramah agama (N= 31)
Pernyataan
f
%
Sama sekali tidak setuju
          0
         0
Tidak setuju
        27
       87,10
Setuju saja, tidak apa-apa
          4
       12,90
Tidak menjawab
          0
         0
Jumlah
        31
     100

Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 3.10), untuk mengetahui secara implisit adanya upaya pemertahanan bahasa Helong oleh penutur Helong kelompok anak berdasarkan kesetujuan dan ketidaksetujuan penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama, menunjukkan pemertahanan bahasa Helong  negatif, yakni tidak setuju (87,10%).
Data pada tabel 3.8, 3.9, dan 3.10 di atas menunjukkan lemahnya loyalitas ketiga kelompok penutur Helong terhadap bahasa Helong yang mengacu pada penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama. Kondisi itu mengambarkan bahwa pemertahanan bahasa Helong negatif.

3.1.5    Pemertahanan Bahasa Helong dalam Ranah Adat
Dilihat dari aspek sosial budaya, adat merupakan hal yang sangat penting dalam kehidupan sosial masyarakat yang menunjukkan ciri tersendiri bagi etnik pemilik adat itu. Masyarakat Helong masih memegang teguh tradisi dan adat yang secara tidak langsung mengimplikasikan upaya pemertahanan bahasa Helong. Sebagai bukti, masyarakat Helong sangat peduli dengan adat itu, masyarakat masih konsisten melaksanakan upacara-upacara adat, seperti upacara adat perkawinan, kehamilan, masa tanam, dan kematian. Setiap upacara adat dilakukan, pemimpin upacara adat selalu menggunakan bahasa Helong sebagai bahasa pengantar. Untuk mengetahui hal itu, analisis data mengacu pada data yang diperoleh berdasarkan pengakuan responden tentang penggunaan bahasa Helong dalam ranah adat (tabel 3.11) berikut.


Tabel 3.11 Penggunaan bahasa dalam ranah adat (N= 100)

Ranah
Kelompok orang tua (N= 40)
Kelompok dewasa (N= 29)
Kelompok anak
(N= 31)
f
%
f
%
f
%
Adat
    40
   100
29
100
24
77,42
Di luar ranah adat
     0
  0
     0
         0
  2
 6,45
Tidak tahu
     0
  0
 0
         0
  5
     16,13
Jumlah
40
   100
29
     100
31
  100
     
Data yang diperoleh (tabel 3.11) berdasarkan pengakuan ketiga kelompok responden tentang penggunaan bahasa Helong dalam ranah adat menunjukkan pemertahanan bahasa Helong positif (77,42%).

 IV.         SIMPULAN DAN SARAN
Sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai penelitian ini, yakni untuk mengetahui pemertahanan bahasa Helong yang diteliti hanyalah elemen sampel bukan seluruh elemen populasi. Namun demikian, penggunaan sampel tetap lazim dalam penelitian pada umumnya, yakni dengan pemercontoh dengan cara acak-berlapis, dengan rincian sebagai berikut: (a) mewakili kelompok orang tua; (b) mewakili kelompok dewasa, dan (c) mewakili kelompok anak.
Berdasarkan permasalahan dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa bahasa Helong merupakan bahasa ibu bagi suku Helong di desa Oematnunu, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur. Bahasa Helong digunakan pada ranah keluarga, ranah ketetangaan, dan ranah adat. Sedangkan pada ranah pendidikan dan ranah agama, bahasa Helong tidak digunakan oleh masyarakat Helong.
Selanjutnya, hasil penelitian menyangkut pemertahanan bahasa Helong dalam konteks kedwibahasaan pada ranah keluarga, ranah ketetanggaan, dan ranah adat menunjukkan pemertahanan positif yang berarti bahwa bahasa Helong dalam kondisi bertahan. Sedangkan pada ranah pendidikan dan ranah agama menunjukkan pemertahanan negatif yang berarti bahwa bahasa Helong dalam proses bergeser.
Adapun faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemertahanan bahasa Helong adalah faktor usia penutur Helong. Penggunaan bahasa Helong oleh kelompok orang tua dan dewasa menunujukkan bahasa Helong cenderung bertahan. Sedangkan penggunaan bahasa Helong pada kelompok anak menunjukkan bahasa Helong cenderung bergeser.
Faktor lain yang berpengaruh terhadap pemertahanan bahasa Helong adalah faktor pemukiman yang terkonsentrasi dan agak terisolir serta faktor status sosial yang tinggi bagi kelompok orang tua menunujukkan bahwa bahasa Helong cenderung bertahan.           
Penelitian ini hanyalah penelitian sederhana tentang masyarakat dwibahasawan, tentang penggunaan bahasa Helong pada ranah keluarga, pendidikan, ketetanggaan, dan adat. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan yang lebih lengkap dengan sampel yang lebih besar dan variabel yang lebih beragam.
Situasi kebahasaan masyarakat Helong yang tidak stabil menyebabkan pemertahanan bahasa Helong semakin lemah. Lemahnya pemertahanan bahasa Helong dipengaruhi oleh faktor penggunaan bahasa dalam masyarakat dwibahasa yang tidak seimbang cenderung menggeser bahasa Helong sebagai B1. Hal itu dipengaruhi pemilihan dan penggunaan bahasa Indonesia sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Intervensi bahasa Indonesia yang sangat dominan dikhawatirkan berpengaruh negatif terhadap keberadaan bahasa Helong. Untuk itu, agar bahasa Indonesia dan bahasa daerah dapat hidup berdampingan tanpa harus saling menggeser satu sama lain, situasi kedwibahasaan seperti itu perlu diciptakan. Untuk menciptakan situasi kedwibahasaan yang stabil, model pengajaran kedwibahasaan perlu diperimbangkan terutama di daerah yang penduduknya cukup terisolir.       
Mengingat bahasa Helong merupakan bahasa daerah dan aset bangsa, maka agar tetap bertahan perlu melibatkan unsur-unsur pemerintahan, organisasi keagamaan, pakar-pakar linguistik, dan tokoh masyarakat berperan aktif meningkatkan intensitas penggunaan bahasa Helong dalam bentuk apresiasi seni budaya, khotbah keagamaan, dan materi muatan lokal di sekolah-sekolah tingkat dasar.
Berdasarkan kondisi kebahasaan yang diidentifikasi, perlu dilakukan dokumentasi bahasa Helong sebelum bahasa itu punah sehingga hasil dokumentasi dapat dipergunakan titik tolak penelitian bahasa di masa mendatang.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemberdayaan bahasa Helong perlu menjadi perhatian pemerintah agar pemertahanan bahasa daerah tetap terpelihara dengan baik guna meningkatkan sumber daya manusia, khususnya masyarakat suku Helong.


DAFTAR PUSTAKA

Anderson, B. R. O. G. 1974. ‘The Idea of Power in Javanese Culture”. Dalam Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.

Anderson, Edmun A. 1974. “Language Attitudes, Beliefs, and Valuel Study In Linguistic Cognitive Framework”. Disertasi. Georgetown University.

Bowden, John. 2007. Document of Three Dialects of Helong: An Endangered Language of Eastern Indonesia: http: //www.hrelp.org/grant/project/index. php?  Projid.

Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik (Perkenalan Awal). Jakarta: Rineka Cipta.

Charles E. Grimes. 1997. A Guide to the People and Languages of Nusa Tenggara: Artha Wacana Press.

Crystal, David.2000. Language Death. United Kingdom: Cambridge University Press.

Dorian, N.  1978. Language Death: The Life Cycle of a Scottish Gaelic Dialect. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.

Eastman, Carol M. 1983. Language Planning: An Introduction. San Fransisco & Sharp

Edwards, John. 1985. Language, Society, and Identity. Oxford: Basil Blackwell.

Fasold, Ralph.1985. The Sociolinguistics of Society. New York: Basil Blackwell.

Fishman, Joshua A. 1966. Language Loyalty in the United States.  The Hague Mouton.

Fishman, Joshua A.1967. Bilingualism with and without Diglossia: Diglossia with and  without Bilingualism. Journal of Social Issue. Paris: The Haque Mouton Publisher.

Fishman, Joshua A. (ed.). 1972. Reading in Sociology of Language.  Paris: The Haque Mouton Publisher.

Fishman, Joshua A. 1997.  Maintaining Language:  Northern Arizona University.

Friedman, L, Thomas. 2005. The World is Flat: A Brief Hystory of The Twenty-First Century. USA: Farrar, Straus and Giroux.

Gal, Susan. 1979. Language Shift; Determinants of Linguistics Change in Bilingual Australia. New York: Academic Press.

Grosjean, Francois. 1982. Life with Two Language:  An Introduction to Bilingualism. Cambridge: Harvard University Press.

Haugen, Einar. 1972. The Ecology of Language. California: Stanford University Press.

Himmelmann, Nicolaus P. 2006. Language Documentation. New York: Mouton de Gruyter.

Holton, Gary. 2005. Building The Dena’Ina Language Archive. Alaska Native Language Center.

Hymes, Dell. 1973. Foundations in Sociolinguistics: An Etnographic Approach. Philadephia: University of Pennsylvania Press.

Jacob, June and Charles E. Grimes. 2000. Developing a Role for Kupang Malay: The Contemporary Politics of An Eastern Indonesian Creole. Kupang: Artha Wacana Press.
 
Koentjaraningrat. 1983. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.

Lambert, W.E. 1967. A Social Psychology of Bilingualism; Journal of Social Issues.
 
Lukman. 2000. Pemertahanan Bahasa Warga Transmigran Jawa di Wonomuly Polmas. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.

Pateda, Mansoer. 1990. Sosiolinguistik. Bandung : Angkasa

Paul L. Garvin. 1968. Method and Theory in Linguistics. The Hague, Paris: Mouton.

Rokhman, Fathur. 2003. Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Dwibahasa: Kajian
          Sosiolinguistik di Banyumas”. Disertasi. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Romaine, Suzanne. 1996. Bilingualism, Handbook of Second Language Acquisition. San Diego, CA: Academic Press.

Siregar dan D. Syahrial Isa dan Chairul Husni. 1998. Pemertahanan Bahasa dan Sikap Bahasa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sumarsono. 1993. Pemertahanan Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.

Sumarsono dan Partana Paina. 2002. Sosiolinguistik. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

Trudgill, Peter. 1974. Sociolinguistic: An Introduction. Middlesex: Penguin Books.

Triandis, Harry. 1971. Individualism and Collectivism. Illinois University Champaign.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat Jenderal MPR RI: Jakarta.

Wiliam, Sudirman. 2005. Bahasa Minoritas, Identitas Etnik, Dan Kebertahanan Bahasa: Kasus Bahasa Sumbawa di Lombok; Linguistik Indonesia.

2 komentar:

  1. Alhamdulillah Sangat bermanfaat. Mohon mampir juga di:

    www.umrohsunah.com ya?

    BalasHapus
  2. Alhamdulillah Sangat bermanfaat. Mohon mampir juga di:

    www.umrohsunah.com ya?

    BalasHapus