ABSTRACT
Research
on language maintenance related to social factors included in sociolinguistic research.
This research aims to describe the language situation in related to the level
of language maintenance of Helong in the context of bilingualism and the
factors that influence the level of Helong language maintenance in Helong
community living in Oematnunu village, West Kupang Sub-district, Kupang
regency.
This
research study refers to the variable of bilingualism and social factors.
Bilingualism variables consisted of variables bilingualism patterns, language
attitudes, and the domain of language usage. The social factor variables
consist of ages, sexes, education, occupation, population mobility, and
homogeneous and heterogeneous residential areas.
Methods
and data collection techniques used in this research include: methods of
observation or surveys, questionnaires, interviews, focus groups, records, and
documentation, and refer-notes technique. To obtain the expected data,
respondents are enmeshed in this study of 100 respondents Helong tribe who live
in the Oematnunu village and categorized into three groups, namely groups of
children, adults, and parents.
Data
obtained through these data collection techniques were analyzed using
descriptive qualitative-analytic inductive method, in the sense of moving from
data analysis to the concept or theory. The results of data analysis presented
in the form of descriptions using the words are arranged in a systematic and
structured and the tables containing the numbers and percentages according to
the scope of the problem and research purposes.
The
findings of this research indicate that attitudes, behaviors, and views of
language that is not accommodating of the parent group to the next generation
resulting in language Helong increasingly displaced by the B2. The use of B2 is
increasingly intervening in every domain of language usage negatively affect
retention of Helong language, except in the traditional domain shows positive
maintenance of Helong.
Key words: variabel sosiolinguistik, kedwibahasaan, ketahanan bahasa.
*)
Dipresentasikan
dalam Seminar Nasional Bahasa Ibu, Program S2/S3 Linguistik, PPs Unud, Denpasar
Tanggal 17--18 Februari 2012.
I.
PENDAHULUAN
Bahasa Helong adalah bahasa pertama (B1) yang digunakan
suku Helong yang bermukim di wilayah ujung barat pulau Timor dekat pelabuhan Tenau, Kota Kupang hingga wilayah Amarasi, dan sebagian besar
desa di pulau Semau. Bahasa Helong termasuk salah satu rumpun bahasa
Austronesia di Indonesia Timur, khususnya di wilayah Nusa Tenggara Timur. Bahasa Helong terdiri atas tiga dialek, yakni dialek Helong Pulau,
Helong Darat, dan Helong Funai. Komunitas penutur dialek Helong Darat dan
Helong Funai bermukim di pulau Timor, sedangkan komunitas Helong Pulau bermukim di pulau Semau
(Grimes, 1997: 42).
Mengingat bahasa Helong hidup berdampingan dengan bahasa multisuku yang
mempetahankan identitas kesukuannya masing-masing, maka fenomena
pergeseran bahasa (language
shift) dan kepunahan bahasa (language
death) dapat saja terjadi. Hal yang dapat menyebabkan terjadinya pergeseran bahasa
adalah
jika masyarakat pemakai memilih
bahasa baru untuk mengganti bahasa sebelumnya. Dengan kata lain, pergeseran
bahasa terjadi karena masyarakat bahasa beralih ke bahasa lain
yang dominan dan berprestise, yang digunakan dalam ranah-ranah pemakaian bahasa yang lama.
Dalam konsep pergeseran bahasa, bahasa mengalami pergeseran jika pemakaian antara B1 dan
B2 tidak seimbang. Ketika keseimbangan ini tidak ada lagi, maka
dua kemungkinan yang akan muncul,
yaitu B1 tetap bertahan
atau B1 tersingkir oleh
B2 yang mengarah pada kepunahan.
Menurut Edwards (1985:71-72),
salah satu fenomena yang memicu
terjadinya pergeseran bahasa
disebabkan oleh berkurangnya
jumlah penutur usia muda dari bahasa tersebut, karena mereka cenderung menggunakan bahasa lain
yang dianggapnya lebih berprestise.
Sebagaimana
disinggung di atas, bahasa Helong merupakan salah satu bahasa daerah di kabupaten Kupang sebagai bahasa yang hidup
berdampingan dengan BI dan bahasa-bahasa daerah yang lain, tentunya bahasa ini
bisa mengalami pergeseran penggunaan oleh penuturnya. Hal ini dipengaruhi oleh
beberapa faktor, termasuk faktor perkawinan campur, teknologi komunikasi, dan
arus perpindahan penduduk. Jika hal itu terjadi, maka tidak tertutup
kemungkinan bahwa bahasa Helong akan
mengalami kepunahan.
Berdasarkan
gambaran pada latar belakang di atas, maka batasan masalah yang
dikaji dalam penelitian
ini adalah: Bagaimanakah tingkat pemertahanan bahasa Helong dalam konteks kedwibahasaan
pada
masyarakat Helong.
II.
KONSEP
DAN TEORI
2.1 Konsep
Ketahanan Bahasa
Ketahanan bahasa
dapat dikatakan sebagai pembalikan pergeseran bahasa (reversing language shift) Fishman (dalam William, 1991:99). Tersirat dalam bukunya ini, Fishman sangat mengkhawatirkan hilangnya akar identitas
masyarakat pendukung suatu bahasa.
Pembalikan
arah pergeseran suatu bahasa dapat berhasil dan dapat gagal. Inti pelaksanaan
itu adalah meningkatkan kondisi-kondisi sosiolinguistik suatu bahasa yang
mengalami keseimbangan negatif pengguna dan penggunaan bahasa itu. Sasaran
usaha pembalikan pergeseran menurut teori baru ini adalah
adanya kesinambungan B1
antargenerasi.
2.2 Teori
Sosiolinguistik
Menurut Holmes (1992: 1) sosiolinguistik merupakan
ilmu yang membahas hubungan antara bahasa dengan lingkungan sosialnya. Sosiolinguistik,
sesuai namanya, mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, mengaitkan dua bidang
yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu bahasa oleh linguistik dan masyarakat
oleh sosiologi (Sumarsono, 1993: 8). Karena itu wajar kalau misalnya
sosiolinguistik memanfaatkan teori, hasil kajian, atau metodologi dalam
sosiologi, baik secara implisit, termasuk kajian tentang masyarakat Helong.
Kenyataan memang membuktikan bahwa
sosiolinguistik itu pada umumnya mengkaji masyarakat dwibahasa atau
anekabahasa. Kedwibahasaan adalah gejala penguasaan bahasa kedua (B2) dengan
derajat kemampuan yang sama seperti penutur aslinya (Bloomflied, 1933).
III.
BAHASAN
Berbicara tentang pemertahanan bahasa, dapat dipastikan
bahwa pembahasan yang akan disampaikan menyangkut persoalaan tentang keanekaragaman dalam
konteks kedwibahasaan merupakan gejala yang dapat menumbuhkan persaingian antarbahasa
sehingga memungkinkan bahasa-bahasa tertentu tidak sanggup bertahan dalam
persaingan yang mengakibatkan terjadinya kepunahan bahasa. Bagi peneliti
sosiolinguistik, keanekaragaman bahasa yang berkaitan dengan pemertahanan dan
kepunahan bahasa merupakan masalah yang menarik untuk dibicarakan, selanjutnya
(Sumarsono, 1955:173) membahas pemertahanan erat kaitannya dengan kepunahan
bahasa, artinya adanya interaksi bahasa yang menimbulkan adanya upaya
pemertahanan. Jika hal tersebut gagal, maka bahasa yang mengalami pergeseran
itu secara perlahan-lahan akan mengarah pada kepunahan.
Pembahasan tentang pemertahanan bahasa
Helong didasarkan atas ranah-ranah
penggunaan bahasa seperti ranah keluarga, ranah pendidikan,
ranah adat, ketetanggaan, dan ranah agama.
3.1.1 Pemertahanan Bahasa Helong dalam
Ranah Keluarga
Berdasarkan
data yang diperoleh dari responden tentang pilihan bahasa yang digunakan dalam
ranah rumah tangga mengacu pada keseringan kelompok dewasa dan anak menggunakan
bahasa Helong pada ranah keluarga, khususnya dengan anggota keluarga yang lebih
tua. Untuk mengetahui tingkat keseringan berbahasa
Helong bagi kelompok itu, diperoleh data sebagai berkut.
a.
Kelompok dewasa
Tabel 3.1 Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga antarapenutur kelompok dewasa
dengan kakek nenek,
bapak-ibu, saudara kandung, dan penghuni lain se rumah (N=29)
Bahasa
|
Kakek-nenek
|
Bapak-ibu
|
Saudara
kandung
|
Penghuni
lain
|
||||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong
|
18
|
62,07
|
9
|
31,03
|
2
|
6,90
|
6
|
20,69
|
Bahasa Indonesia
|
4
|
13,79
|
16
|
55,17
|
22
|
75,86
|
17
|
58,62
|
BH dan BI
|
7
|
24,14
|
4
|
13,79
|
5
|
17,24
|
6
|
20,69
|
Jumlah
|
29
|
100
|
29
|
100
|
29
|
100
|
29
|
100
|
Data
pada tabel 3.1 menunjukkan adanya penggunaan bahasa Helong bagi dewasa pada
ranah keluarga ketika berkomunikasi dengan kakek-nenek (62,07%), bapak-ibu
(31,03%), saudara kandung (6,90%), dan penghuni lain (20,69%). Sedangkan
frekuensi keseringan penggunaan bahasa campur (bahasa Helong dan bahasa
Indonesia) dalam ranah itu juga dapat dilihat pada tabel, yakni dengan
kakek-nenek (24,14%), bapak-ibu (13,79%), saudara kandung (17,24%), dan
penghuni lain (20,69%).
Pilihan
bahasa yang melibatkan bahasa Helong sebagai bahasa komunikasi dalam ranah
keluarga menunjukkan adanya kemampuan dewasa Helong menggunakan bahasa Helong
yang tingkat kemampuannya sulit diukur oleh penuturnya. Terlepas dari persoalan
yang mengacu pada pengakuan atau jawaban atas pertanyaan di atas, sebagian penutur
muda Helong memperlihatkan adanya upaya pemertahanan bahasa Helong positf pada
ranah keluarga.
b.
Kelompok anak
Tabel 3.2 Penggunaan bahasa dalam ranah keluarga antara penutur kelompok Anak dengan kakek-nenek, bapak-ibu, saudara kandung, dan
penghuni lain se rumah (N=31)
Bahasa
|
Kakek-nenek
|
Bapak-ibu
|
Saudara kandung
|
Penghuni lain
|
||||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong (BH)
|
4
|
12,90
|
2
|
6,45
|
0
|
0
|
1
|
3,23
|
Bahasa Indonesia (BI)
|
21
|
67,74
|
19
|
61,29
|
31
|
100
|
28
|
90,32
|
BH dan BI
|
6
|
19,35
|
10
|
32,26
|
0
|
0
|
2
|
6,45
|
Jumlah
|
31
|
100
|
31
|
100
|
31
|
100
|
31
|
100
|
Data
pada tabel 3.2 menunjukkan adanya penurunan jumlah penutur Helong pada kelompok
anak jika dibandingkan dengan kelompok dewasa, yang secara keseluruhan
memperlihatkan persentase pada tabel berikut.
Tabel 3.3 Keadaan penggunaan bahasa dalam ranah
keluarga
bagi penutur
kelompok dewasa dan anak
Anggota
keluarga
|
Penggunaan
Bahasa Helong
|
Selisih
|
||||
Dewasa
|
Anak-anak
|
|||||
|
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
Kakek-nenek
|
18
|
62,07
|
4
|
12,90
|
14
|
49,17
|
Bapak-ibu
|
9
|
31,03
|
2
|
6,45
|
7
|
24,58
|
Saudara
kandung
|
2
|
6,90
|
0
|
0
|
2
|
6,90
|
Penghuni
lain
|
6
|
20,69
|
1
|
3,23
|
5
|
17,46
|
Data pada tabel 3.3 menunjukkan penurunan jumlah
penutur dan persentase dalam penggunaan bahasa Helong pada generasi berikutnya,
dengan kakek nenek; 49,17 %, dengan bapak-ibu; 24,58 %, dengan saudara kandung;
6,90 %, dan dengan penghuni lain; 17,46 %. Penurunan jumlah penutur Helong generasi
berikutnya pada tabel 3.3 terjadi pada semua lawan bicara dalam ranah keluarga.
Berdasarkan analisis data di atas, penggunaan bahasa Helong pada ranah keluarga
terlihat responden kelompok dewasa masih menggunakan bahasa Helong dengan semua
lawan bicara di dalam keluarga, masing-masing; 62,07%, 31,03%, 6,90%, dan
20,69%, begitu juga halnya dengan responden kelompok anak, masing-masing;
12,90%, 6,45%, 0%, dan 3,23%. Masih digunakannya bahasa Helong oleh sebagian
penuturnya menunjukkan bahwa bahasa itu masih bertahan.
Kondisi kebahasaan sebagai akibat pengalihan bahasa
dari generasi ke generasi berikutnya seperti yang nampak pada tabel itu
menunjukkan bahwa dalam ranah keluarga bahasa Helong sedang mengalami
pergeseran. Artinya, bahasa Helong masih digunakan oleh penuturnya, yang jika
terjadi penurunan terus-menerus dari generasi ke generasi, tidak menutup
kemungkinan bahasa Helong punah. Berbicara tentang pergeseran bahasa, faktor
kedwibahasaan bukanlah satu-satunya faktor penyebab terjadinya pergeseran
bahasa Chaer (2004:142). Pada bab sebelumnya, telah dijelaskan beberapa faktor
penyebab terjadinya pergeseran bahasa yang disebabkan, antara lain, pengaruh
faktor perpindahan penduduk, faktor ekonomi, dan faktor pendidikan. Dari ketiga
faktor itu, yang berhubungan dengan fenomena kebahasaan bahasa Helong yang
mengarah ini adalah faktor pendidikan.
3.1.2
Pemertahanan Bahasa Helong dalam Ranah
Pendidikan
Penggunaan
bahasa dalam ranah pendidikan dapat dilihat pada tabel 3.4, disajikan berdasarkan
jawaban responden tentang penggunaan bahasa di lingkungan sekolah.
a.
Kelompok
dewasa dan anak
Tabel 3.4 Penggunaan bahasa dalam ranah pendidikan antara anak dengan teman sekelas,
guru, dan pegawai di sekolah (N=29+31=
60)
Bahasa
|
Teman se kelas
|
Guru
|
Pegawai/pesuruh
|
|||
F
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Bahasa Indonesia
|
49
|
81,67
|
60
|
100
|
60
|
100
|
BH dan BI
|
11
|
18,33
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Jumlah
|
60
|
100
|
60
|
100
|
60
|
100
|
Data
pada tabel 3.4 menggambarkan bahwa dalam ranah pendidikan, responden memilih
bahasa Helong untuk berbicara dengan lawan bicara; teman se kelas (0%), guru
(0%), dan pegawai/pesuruh (0%); bahasa Indonesia untuk berbicara dengan lawan
bicara; teman se kelas (81,67%), guru (100%), dan pegawai/pesuruh (100%);
bahasa Helong dan bahasa Indonesia untuk berbicara dengan teman se kelas
(18,33%), guru (0%), dan pegawai/pesuruh (0%). Berdasarkan analisis data di
atas, dalam ranah pendidikan terjadi pemertahanan bahasa Helong negatif.
Walaupun pemertahanan bahasa Helong oleh penutur Helong adalah negatif, kondisi
kebahasaan bahasa Helong pada ranah ini masih dianggap bertahan karena
penggunaan bahasa Helong antarteman sekelas masih terjadi walaupun campur
bahasa Helong dan bahasa Indonesia (18,33%). Kondisi seperti itu menunjukkan
bahwa bahasa Helong sedang mengalami proses pergeseran.
3.1.3 Pemertahanan Bahasa Helong dalam Ranah
Ketetanggaan
Berdasarkan
data yang diperoleh dari responden tentang pilihan bahasa yang digunakan dalam ranah
ketetanggaan yang mengacu pada keseringan ketiga kelompok menggunakan bahasa
Helong, khususnya dengan anggota tetangga dapat dilihat pada tabel berikut.
a.
Kelompok
orang tua: KK dan ibu rumah tangga
Tabel 3.5 Penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok orang tua: KK dan ibu rumah
tangga dengan tetangga sebaya,
lebih tua, dan lebih muda (N=26+14=40)
Bahasa
|
Tetangga sebaya
|
Tetangga lebih tua
|
Tetangga lebih muda
|
|||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong (BH)
|
34
|
85
|
34
|
85
|
27
|
67,50
|
Bahasa Indonesia (BI)
|
0
|
0
|
0
|
0
|
3
|
7,50
|
BH dan BI
|
6
|
15
|
6
|
15
|
10
|
25
|
Jumlah
|
40
|
100
|
40
|
100
|
40
|
100
|
Berdasarkan
data pada tabel 3.5, penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggaan bagi kelompok
orang tua menunjukkan pemertahanan bahasa Helong positif, yakni dengan tetangga
sebaya (85%), tetangga lebih tua (85,%), tetangga lebih muda (67,50%).
b.
Kelompok
dewasa
Tabel 3.6 Penggunaan
bahasa dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok
dewasa
dengan tetangga sebaya,
lebih tua, dan lebih muda (N=29)
Bahasa
|
Tetangga
sebaya
|
Tetangga lebih
tua
|
Tetangga lebih
muda
|
|||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong (BH)
|
7
|
24,14
|
24
|
82,76
|
0
|
0
|
Bahasa Indonesia (BI)
|
13
|
44,83
|
3
|
10,34
|
23
|
79,31
|
BH dan BI
|
9
|
31,03
|
2
|
6,90
|
6
|
20,69
|
Jumlah
|
29
|
100
|
29
|
100
|
29
|
100
|
Berdasarkan
data yang diperoleh (tabel 3.6), penggunaan bahasa Helong dalam ranah
ketetanggaan bagi kelompok dewasa menunjukkan pemertahanan bahasa Helong
positif pada interaksi dengan tetangga yang lebih tua (82,76%), sedangkan dengan
tetangga sebaya (7,00%) dan tetangga lebih muda (0%) menunjukkan pemertahanan
BH negatif.
c.
Kelompok
anak
Tabel 3.7 Penggunaan bahasa dalam ranah ketetanggan antara penutur kelompok anak dengan tetangga
sebaya,
lebih tua, dan lebih muda (N=31)
Bahasa
|
Tetangga
sebaya
|
Tetangga
lebih tua
|
Tetangga
lebih muda
|
|||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Bahasa Helong
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
0
|
Bahasa Indonesia
|
29
|
93,55
|
29
|
93,55
|
31
|
100
|
BH dan BI
|
2
|
6,45
|
2
|
6,45
|
0
|
0
|
Jumlah
|
31
|
100
|
31
|
100
|
31
|
100
|
Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 3.7),
penggunaan bahasa Helong dalam ranah ketetanggaan bagi kelompok anak
menunjukkan pemertahanan bahasa Helong negatif pada interaksi dengan semua
tetangga, kecuali bahasa Helong dan bahasa
Indonesia.
3.1.4 Pemertahanan Bahasa Helong dalam Ranah Agama
Agama
mayoritas penutur Helong adalah Kristen protestan, disamping memiliki peran
penting dalam kehidupan sosial masyarakat juga berkaitan erat dengan kondisi
kebahasaan bahasa Helong. Dalam kegiatan keagamaan, seperti ibadah di gereja,
satu-satunya bahasa yang digunakan adalah bahasa Indonesia.
Dalam
hubungan dengan ranah agama yang dianut responden, yang rutin mengikuti
kegiatan ibadah di gereja menyatakan bahwa selama kegiatan berlangsung, bahasa Indonesia adalah pilihan
tunggal, dalam pengertian bahwa selama ibadah berlangsung, pendeta dalam
kotbah/ceramahnya menggunakan bahasa
Indonesia. Kenyataan itu membuktikan bahwa bahasa Indonesia telah merembes ke
ranah ini dan memperlemah upaya pemertahanan bahasa Helong yang menunjukkan
bahwa pemertahanan bahasa Helong dalam ranah agama menunjukkan pemertahanan
negatif.
Dalam
kaitan dengan pemertahanan bahasa Helong, penelitian mengarah pada pendapat
guyup tentang kemungkinan bahasa Helong digunakan untuk ceramah agama, sebagian
menyatakan setuju jika bahasa Helong digunakan untuk ceramah di gereja. Untuk
mengetahui kesetujuan dan ketidaksetujuan guyup Helong terhadap bahasa Helong
yang digunakan untuk ceramah keagamaan mengacu pada jawaban responden pada
tabel berikut.
a.
Kelompok
orang tua: KK dan ibu rumah tangga
Tabel 3.8 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok
orang tua Helong
terhadap
penggunaan bahasa Helong untuk ceramah agama (N= 40)
Pernyataan
|
f
|
%
|
Sama sekali
tidak setuju
|
3
|
7,50
|
Tidak setuju
|
19
|
47,50
|
Setuju saja,
tidak apa-apa
|
16
|
40
|
Tidak menjawab
|
2
|
5
|
Jumlah
|
40
|
100
|
Berdasarkan
data yang diperoleh (tabel 3.8), untuk mengetahui secara implisit adanya upaya pemertahanan
bahasa Helong oleh penutur Helong kelompok orang tua berdasarkan kesetujuan dan
ketidaksetujuan penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama, diidentifikasi
bahwa pemertahanan bahasa Helong
negatif, yakni sama sekali tidak setuju (7,50%) dan tidak setuju
(47,50%).
b.
Kelompok
dewasa
Tabel 3.9 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok
dewasa Helong
terhadap
penggunaan BH untuk ceramah agama (N= 29)
Pernyataan
|
f
|
%
|
Sama sekali
tidak setuju
|
3
|
10,34
|
Tidak setuju
|
13
|
44,83
|
Setuju saja,
tidak apa-apa
|
12
|
41,38
|
Tidak menjawab
|
1
|
3,45
|
Jumlah
|
29
|
100
|
Berdasarkan
data yang diperoleh (tabel 3.9), untuk mengetahui secara implisit adanya upaya
pemertahanan bahasa Helong oleh penutur Helong kelompok dewasa berdasarkan
kesetujuan dan ketidaksetujuan penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama, juga
menunjukkan pemertahanan bahasa Helong negatif, yakni; sama sekali tidak setuju
(10,34%) dan tidak setuju (44,83%).
c.
Kelompok
anak
Tabel 3.10 Kesetujuan dan ketidaksetujuan kelompok
anak Helong
terhadap
penggunaan BH untuk ceramah agama (N= 31)
Pernyataan
|
f
|
%
|
Sama sekali
tidak setuju
|
0
|
0
|
Tidak setuju
|
27
|
87,10
|
Setuju saja,
tidak apa-apa
|
4
|
12,90
|
Tidak menjawab
|
0
|
0
|
Jumlah
|
31
|
100
|
Berdasarkan data yang diperoleh (tabel 3.10),
untuk mengetahui secara implisit adanya upaya pemertahanan bahasa Helong oleh
penutur Helong kelompok anak berdasarkan kesetujuan dan ketidaksetujuan
penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama, menunjukkan pemertahanan bahasa
Helong negatif, yakni tidak setuju
(87,10%).
Data pada tabel 3.8, 3.9, dan 3.10 di
atas menunjukkan lemahnya loyalitas ketiga kelompok penutur Helong terhadap
bahasa Helong yang mengacu pada penggunaan bahasa Helong dalam ranah agama.
Kondisi itu mengambarkan bahwa pemertahanan bahasa Helong negatif.
3.1.5 Pemertahanan Bahasa Helong dalam Ranah Adat
Dilihat
dari aspek sosial budaya, adat merupakan hal yang sangat penting dalam
kehidupan sosial masyarakat yang menunjukkan ciri tersendiri bagi etnik pemilik
adat itu. Masyarakat Helong masih memegang teguh tradisi dan adat yang secara
tidak langsung mengimplikasikan upaya pemertahanan bahasa Helong. Sebagai
bukti, masyarakat Helong sangat peduli dengan adat itu, masyarakat masih
konsisten melaksanakan upacara-upacara adat, seperti upacara adat perkawinan,
kehamilan, masa tanam, dan kematian. Setiap upacara adat dilakukan, pemimpin
upacara adat selalu menggunakan bahasa Helong sebagai bahasa pengantar. Untuk
mengetahui hal itu, analisis data mengacu pada data yang diperoleh berdasarkan
pengakuan responden tentang penggunaan bahasa Helong dalam ranah adat (tabel 3.11)
berikut.
Tabel 3.11 Penggunaan
bahasa dalam ranah adat (N= 100)
Ranah
|
Kelompok orang tua (N= 40)
|
Kelompok dewasa (N= 29)
|
Kelompok anak
(N= 31)
|
|||
f
|
%
|
f
|
%
|
f
|
%
|
|
Adat
|
40
|
100
|
29
|
100
|
24
|
77,42
|
Di
luar ranah adat
|
0
|
0
|
0
|
0
|
2
|
6,45
|
Tidak
tahu
|
0
|
0
|
0
|
0
|
5
|
16,13
|
Jumlah
|
40
|
100
|
29
|
100
|
31
|
100
|
Data yang diperoleh (tabel 3.11)
berdasarkan pengakuan ketiga kelompok responden tentang penggunaan bahasa
Helong dalam ranah adat menunjukkan pemertahanan bahasa Helong positif
(77,42%).
IV.
SIMPULAN
DAN SARAN
Sesuai
dengan tujuan yang hendak dicapai penelitian ini, yakni untuk mengetahui
pemertahanan bahasa Helong yang diteliti hanyalah elemen sampel bukan seluruh
elemen populasi. Namun demikian, penggunaan sampel tetap lazim dalam penelitian
pada umumnya, yakni dengan pemercontoh dengan cara acak-berlapis, dengan
rincian sebagai berikut: (a) mewakili kelompok orang tua; (b) mewakili kelompok
dewasa, dan (c) mewakili kelompok anak.
Berdasarkan
permasalahan dan pembahasan yang telah dikemukakan sebelumnya, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa bahasa Helong merupakan bahasa ibu bagi suku Helong di
desa Oematnunu, Kecamatan Kupang Barat, Kabupaten Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Bahasa Helong digunakan pada ranah keluarga, ranah ketetangaan, dan ranah adat.
Sedangkan pada ranah pendidikan dan ranah agama, bahasa Helong tidak digunakan
oleh masyarakat Helong.
Selanjutnya,
hasil penelitian menyangkut pemertahanan bahasa Helong dalam konteks
kedwibahasaan pada ranah keluarga, ranah ketetanggaan, dan ranah adat
menunjukkan pemertahanan positif yang berarti bahwa bahasa Helong dalam kondisi
bertahan. Sedangkan pada ranah pendidikan dan ranah agama menunjukkan
pemertahanan negatif yang berarti bahwa bahasa Helong dalam proses bergeser.
Adapun
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap pemertahanan bahasa Helong adalah
faktor usia penutur Helong. Penggunaan bahasa Helong oleh kelompok orang tua
dan dewasa menunujukkan bahasa Helong cenderung bertahan. Sedangkan penggunaan
bahasa Helong pada kelompok anak menunjukkan bahasa Helong cenderung bergeser.
Faktor
lain yang berpengaruh terhadap pemertahanan bahasa Helong adalah faktor
pemukiman yang terkonsentrasi dan agak terisolir serta faktor status sosial
yang tinggi bagi kelompok orang tua menunujukkan bahwa bahasa Helong cenderung
bertahan.
Penelitian
ini hanyalah penelitian sederhana tentang masyarakat dwibahasawan, tentang
penggunaan bahasa Helong pada ranah keluarga, pendidikan, ketetanggaan, dan
adat. Oleh karena itu, diperlukan penelitian lanjutan yang lebih lengkap dengan
sampel yang lebih besar dan variabel yang lebih beragam.
Situasi
kebahasaan masyarakat Helong yang tidak stabil menyebabkan pemertahanan bahasa
Helong semakin lemah. Lemahnya pemertahanan bahasa Helong dipengaruhi oleh
faktor penggunaan bahasa dalam masyarakat dwibahasa yang tidak seimbang
cenderung menggeser bahasa Helong sebagai B1. Hal itu dipengaruhi pemilihan dan
penggunaan bahasa Indonesia
sebagai bahasa komunikasi sehari-hari. Intervensi bahasa Indonesia yang sangat dominan
dikhawatirkan berpengaruh negatif terhadap keberadaan bahasa Helong. Untuk itu,
agar bahasa Indonesia dan bahasa daerah dapat hidup berdampingan tanpa harus
saling menggeser satu sama lain, situasi kedwibahasaan seperti itu perlu diciptakan.
Untuk menciptakan situasi kedwibahasaan yang stabil, model pengajaran
kedwibahasaan perlu diperimbangkan terutama di daerah yang penduduknya cukup
terisolir.
Mengingat
bahasa Helong merupakan bahasa daerah dan aset bangsa, maka agar tetap bertahan
perlu melibatkan unsur-unsur pemerintahan, organisasi keagamaan, pakar-pakar
linguistik, dan tokoh masyarakat berperan aktif meningkatkan intensitas
penggunaan bahasa Helong dalam bentuk apresiasi seni budaya, khotbah keagamaan,
dan materi muatan lokal di sekolah-sekolah tingkat dasar.
Berdasarkan
kondisi kebahasaan yang diidentifikasi, perlu dilakukan dokumentasi bahasa
Helong sebelum bahasa itu punah sehingga hasil dokumentasi dapat dipergunakan
titik tolak penelitian bahasa di masa mendatang.
Dengan diberlakukannya otonomi daerah, pemberdayaan
bahasa Helong perlu menjadi perhatian pemerintah agar pemertahanan bahasa
daerah tetap terpelihara dengan baik guna meningkatkan sumber daya manusia,
khususnya masyarakat suku Helong.
DAFTAR
PUSTAKA
Anderson, B. R. O. G. 1974. ‘The Idea of Power in Javanese Culture”. Dalam Culture and Politics in Indonesia. Ithaca: Cornell University Press.
Anderson, Edmun A. 1974. “Language Attitudes, Beliefs, and Valuel
Study In Linguistic Cognitive Framework”. Disertasi. Georgetown University.
Bowden, John. 2007. Document of Three Dialects of Helong: An Endangered Language of Eastern
Indonesia: http:
//www.hrelp.org/grant/project/index. php? Projid.
Chaer, Abdul dan
Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik
(Perkenalan Awal). Jakarta: Rineka
Cipta.
Charles E. Grimes.
1997. A Guide to the
People and Languages of Nusa Tenggara: Artha Wacana Press.
Crystal, David.2000. Language
Death. United Kingdom: Cambridge University Press.
Dorian, N.
1978. Language Death: The Life Cycle of a Scottish Gaelic Dialect. Philadelphia: University of Pennsylvania Press.
Eastman, Carol M. 1983. Language Planning: An Introduction. San
Fransisco & Sharp
Edwards, John.
1985. Language, Society, and Identity. Oxford:
Basil Blackwell.
Fasold, Ralph.1985. The
Sociolinguistics of Society. New York: Basil Blackwell.
Fishman, Joshua A. 1966. Language Loyalty in the United States. The Hague Mouton.
Fishman, Joshua A.1967. Bilingualism
with and without Diglossia: Diglossia with and without Bilingualism. Journal of Social Issue. Paris: The Haque Mouton Publisher.
Fishman, Joshua A. (ed.). 1972. Reading in Sociology of
Language. Paris: The Haque Mouton Publisher.
Fishman, Joshua
A. 1997. Maintaining Language: Northern Arizona University.
Friedman, L, Thomas. 2005. The World
is Flat: A Brief Hystory of The Twenty-First
Century. USA: Farrar, Straus and Giroux.
Gal, Susan. 1979. Language Shift; Determinants
of Linguistics Change in Bilingual
Australia. New York: Academic Press.
Grosjean, Francois. 1982. Life with
Two Language: An Introduction to
Bilingualism. Cambridge: Harvard University Press.
Haugen, Einar. 1972. The Ecology of
Language. California: Stanford University Press.
Himmelmann,
Nicolaus P. 2006. Language Documentation.
New York: Mouton de Gruyter.
Holton, Gary.
2005. Building The Dena’Ina Language
Archive. Alaska Native Language Center.
Hymes, Dell. 1973. Foundations in
Sociolinguistics: An Etnographic
Approach.
Philadephia: University of Pennsylvania Press.
Jacob, June and Charles E. Grimes. 2000. Developing a Role for Kupang Malay: The
Contemporary Politics of An Eastern Indonesian Creole. Kupang: Artha Wacana Press.
Koentjaraningrat.
1983. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Aksara Baru.
Lambert, W.E. 1967. A Social
Psychology of Bilingualism; Journal
of Social Issues.
Lukman. 2000. Pemertahanan Bahasa
Warga Transmigran Jawa di Wonomuly
Polmas. Ujung Pandang: Universitas Hasanuddin.
Pateda, Mansoer.
1990. Sosiolinguistik. Bandung :
Angkasa
Paul L. Garvin.
1968. Method and Theory in Linguistics.
The Hague, Paris: Mouton.
Rokhman,
Fathur. 2003. “Pemilihan Bahasa pada Masyarakat Dwibahasa: Kajian
Sosiolinguistik di Banyumas”. Disertasi.
Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Romaine, Suzanne.
1996. Bilingualism, Handbook of Second
Language Acquisition. San Diego, CA: Academic Press.
Siregar dan D. Syahrial Isa dan Chairul
Husni. 1998. Pemertahanan Bahasa dan
Sikap Bahasa. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sumarsono. 1993. Pemertahanan
Bahasa Melayu Loloan di Bali. Jakarta Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Sumarsono dan Partana Paina. 2002. Sosiolinguistik. Pustaka
Pelajar: Yogyakarta.
Trudgill, Peter.
1974. Sociolinguistic: An Introduction. Middlesex: Penguin Books.
Triandis, Harry. 1971. Individualism
and Collectivism. Illinois University Champaign.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sekretariat
Jenderal MPR RI: Jakarta.
Alhamdulillah Sangat bermanfaat. Mohon mampir juga di:
BalasHapuswww.umrohsunah.com ya?
Alhamdulillah Sangat bermanfaat. Mohon mampir juga di:
BalasHapuswww.umrohsunah.com ya?